Selamat Datang ,@}:-',-- Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

Ritual Ma' Nene'

Ritual Ma'nene menjadi tradisi rutin setiap tahunnya di kalangan Suku Toraja. Ma'nene ialah ritual mengganti pakaian jenazah leluhur atau kerabat keluarga yang sudah meninggal dunia.

Tradisi ini dipercaya masyarakat lokal secara turun temurun dan sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam. Bahkan, tradisi tersebut sudah mendunia. Ma'nene dapat dijumpai di Kabupaten Toraja Utara pada Juli hingga puncaknya pada Agustus dalam setiap tahunnya.

Ritual itu dilangsungkan usai panen padi oleh masyarakat di Kecamatan Rindingallo dan sekitarnya. Ratusan mayat saat itu dikeluarkan dari kompleks pemakaman khas Toraja atau orang Toraja biasa menyebutnya Patane.

Suku Toraja meyakini bahwa hubungan keluarga tidak berakhir begitu saja setelah datangnya kematian. Sehingga, ketika ritual Ma'nene berlangsung, mayat keluarga ataupun kerabat akan dikeluarkan dari tempat penyimpanan lalu dimandikan untuk kemudian dipakaikan pakaian baru dan mewah. Uniknya, rangkaian prosesi itu wajib diikuti dengan suka cita, tanpa ada perasaan berkabung apalagi sampai menangisi jenazah.

Sebelum kembali dimasukkan ke dalam peti, jenazah tadi akan dijemur di bawah teriknya sinar matahari untuk dikeringkan. Tujuannya, agar jasad tersebut tetap awet. Selain mengganti pakaian mayat, ritual ini juga diikuti oleh ritual pemotongan hewan kerbau dan babi sebagai bentuk persembahan

Tradisi Ma'nene masih eksis di kalangan masyarakat Toraja. Mereka beranggapan, ritual unik tersebut perlu dilestarikan, karena tak lain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur maupun sanak keluarga yang sudah meninggal dunia juga sebagai momen bertemu dengan keluarga yang ada di perantauan untuk datang mengadakan tradisi Ma'nene,"

Ma'nene yang merupakan ritual sebagai simbol penghormatan terhadap jenazah leluhur masih terpengaruh oleh kepercayaan nenek moyang

Tingkatan Rampanan Kapa' / Perkawinan Masyarakat Toraja

Tingkat-tingkat perkawinan di Tana Toraja lasimnya dilakukan menurut kasta atau tana’ dari kedua belah pihak yang dikawinkan itu tetapi pada dasarnya harus tunduk pada dasar atau kedudukan sang perempuan umpamanya seorang laki-laki berasal dari Tana' Bulaan dan kawin dengan perempuan asal Tana' Bassi, maka yang menjadi patokan dalam perkawinan ini adalah Tana' dari pada perempuan dan nilai hukumnya adalah Tana' Bassi dengan 6 (enam/annan ayokana) ekor kerbau.

Demikianlah maka perkawinan itu dilakukan dalam 3 cara. Hai itu ditentukan oleh kemampuan dari yang mengadakan perkawinan dan ketiga cara ini tidak dititikberatkan pada adanya tana’ atau dengan kata lain cara kawin ini ditentukan saja oleh waktu perkawinan dan karena itu maka dikenallah tiga macam waktu serta menjadi pula tiga tingkatan masing-masing:

  1. Perkawinan dengan cara sederhana yang dinamakan Bo’bo’ Bannang yaitu perkawinan yang dilakukan pada malam harinya dengan tamu-tamu hanya dijamu dengan lauk-pauk ikan-ikan saja, dan umumnya hanya pengantar laki-aki saja dua atau tiga orang yang juga sebagai saksi dalam perkawinan itu. Ada kalanya dipotong pula satu dua ekor ayam untuk jamuan dari pengantar laki-laki.

  2. Perkawinan yang menengah yang dinamakan Rampo Karoen artinya perkawinan dilakukan pada sore harinya di rumah perempuan dengan mengadakan sedikit acara pantun-pantun perkawinan setelah malam pada waktu hendak makan dari wakil-wakil kedua belah pihak dihadapan saksi-saksi adat yang mendengar pula keputusan hukum dan ketentuan-ketentuan perkawinan yang selalu berpangkal dari nilai hukum tana’ yang sudah dikatakan diatas. Pada perkawinan Rampo Karoen ini dipotong seekor babi untuk menjadi lauk pauk para tamu-tamu yang hadir dan pemerintah adat itu disamping ayam sesuai dengan kemampuan dan banyaknya yang hadir.

  3. Perkawinan yang tinggi dengan acara yang dinamakan Rampo Allo yaitu perkawinan yang diatur atau dilaksanakan pada waktu matahari masih kelihatan sampai malam dengan mengurbankan beberapa ekor babi dan ayam serta ikan atau sesuai dengan kemampuan dari keluarganya. Perkawinan yang dikatakan Rampo Allo itu memakan waktu agak lama tidak sama dengan cara perkawinan yang disebutkan diatas, maka perkawinan demikian itu umumnya dilakukan oleh keluarga Tana' Bulaan yang berkesanggupan tetapi kasta Tana' Bassi sangat jarang melakukannya apalagi Tana' Karurung dan Tana' Kua-Kua .

Sebelum sampai kepada hari inti perkawinan jikalau cara Rampo Allo, harus melaksanakan beberapa hal sebagai acara pendahuluan dalam perkawinan ini masing-masing:

  1. Palingka Kada, artinya mengutus utusan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk berkenalan dan mencari tahu apakah ada ikatan perempuan itu, dan menyampaikan akan ada hajat melamar

  2. Umbaa Pangngan artinya mengatur dan mengantar sirih pinang dengan mengirim utusan laki-laki yang membawa sirih pinang tersebut yang dibungkus dalam satu tempat yang dinamakan Solong (pelepah pinang), yang mula-mula diantar oleh tiga orang perempuan yang langsung disampaikan pada ibu atau nenek dari sang perempuan.



  3. Cara mengantar sirih pinang ini dilakukan 3 kali baru mendapat kepastiannya yang jalannya sebagai berikut:
    • Mengutus 4 (empat) orang dengan 3 (tiga) perempuan sebagai pernyataan lamaran.

    • Mengutus 8 (delapan) orang sebagai pernyataan pelamar datang menunggu jawaban pinangan.

    • Mengutus 12 (dua belas) orang sebagai tanda bahwa lamaran yang sudah diterima dan utusan datang atas nama keluarga akan membicarakan waktu dan tanggal perkawinan, dan pada waktu itu utusan sudah boleh datang di rumah pengantin perempuan

  4. Urrampanan Kapa’ artinya membicarakan tana’ perkawinan untuk menentukan besarnya hukuman yang akan dijatuhkan sesuai dengan tana’ keduanya jikalau ada yang merusak rumah tangga dikemudian hari yang dinamakan Kapa’.

  5. Dinasuan / dipandanni langngan artinya perkawinan sudah berjalan dan sudah memakan makanan pada rumah masing-masing keduanya berganti-ganti dan telah mengadakan pengiriman makanan dalam dua buah bakul dan dipikul dengan penggali, dan bakul ini dinamakan Bakku’ Barasang. Pada kesempatan ini wakil dari laki-laki yang dinamakan To Umbongsoran Kapa’ hadir bersama-sama dengan wakil dari perempuan yang dinamakan To Untimangan Kapa’. Kedua belah pihak berganti-ganti mengucapkan syair dan pantun perkawinan dan mengungkap pula bagaimana mulianya perkawinan atau Rampanan Kapa' pada mulanya dihadapi oleh Puang Matua (Sang Pencipta) di atas langit serta mengungkap pula bagaimana perkawinan raja-raja dahulu kala yang harus menjadi contoh kepada manusia-manusia yang berasal dari kasta bangsawan/Tana' Bulaan.

  6. Sesudah tiga hari, maka tiba pada hari acara makan balasan di rumah laki-laki untuk mengakhiri perkawinan damn melaksanakan yang dikatakan Umpasule Barasang yaitu bakul berisi makanan yang telah dibawa oleh wakil perempuan ke rumah laki-laki, kini dikembalikan ke rumah perempuan dan inilah yang dikatakan Umpasule Barasang. Bakku Barasang ini berisi makanan yaitu nasi dan daging babi serta beberapa bentuk kiasan (anak babi, kerbau, ayam, dll) yang dibuat dari tepung beras namanya Kampodang, yang setibanya di rumah perempuan akan dimakan pula bersama, dan sesudah makan bersama, keluarga-keluarga pihak laki-laki kembali dan laki-laki tinggallah terus di rumah perempuan/orang tua perempuan.

Dalam perkawinan di Tana Toraja sudah dikatakan bahwa tidak ada kurban persembahan dan kurban sajian, karena babi yang dipotong oleh keluarganya itu hanya semata-mata menjadi lauk-pauk bagi seluruh orang yang hadir pada perkawinan itu serta diberikan kepada pelaksana upacara perkawinan seperti anggota dewan adat, wakil keluarga, serta saksi-saksi lainnya, yang pada waktu acara makan disusunlah Pinggan Adat namanya Dulang yang berisi nasi dan daging babi yang disusun atau disediakan menurut tingkat kasta yang kawin, yang pada waktu melihatnya terus diketahui bahwa orang yang kawin ini berasal dari kasta Tana' Bulaan ataukah Tana' Bassi dan dibawah ini susunan dulang dari Tana' Bulaan yaitu Rampanan Kapa' Rampo Allo sebagai berikut:

  1. Dua Dulang untuk pengantar kedua belah pihak atau wakil dari kedua mempelai.

  2. Dua Dulang untuk orang yang membawa kayu bakar dan orang yang datang membawa sirih pinang.

  3. Dua Dulang untuk wakil orang tua kedua belah pihak.

  4. Dua Dulang dari ketua adat sebagai saksi dan mensahkan Rampanan Kapa' (perkawinan).

  5. Satu Dulang untuk tempat makan bersama kedua mempelai dan pada saat makan bersama mempelai perempuan menyuapi mempelai laki-laki dan sebaliknya, kemudian seluruh hadirin makan bersama dari masing-masing dulang tersebut.

Penyusunan dulang seperti di atas adalah untuk perkawinan dari kasta Tana' Bulaan dengan susunan 9 (sembilan) dulang.

Dengan adanya perkawinan semacam ini, maka sering pula terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam hubungan baik sebelum kawin atau pun sesudah kawin sampai terjadi perceraian, maka diantara suami isteri itu salah satunya yang membuat pelanggaran mendapat hukuman menurut hukum perkawinan yang sudah tertentu yang didasarkan pada nilai hukum Tana; dan hukuman yang dijatuhkan itu dinamakan Kapa’, yang jumlah Kapa’ itu sama dengan nilai Tana’ dari yang akan dibayar dan bukan berdasar pada nilai hukum Tana’ yang bersalah.

Penentuan hukuman dengan nilai hukum Tana’ adalah dilakukan oleh dewan adat yang diumumkan dalam satu sidang atau musyawarah adat dimana hadir kedua suami isteri serta keluarga kedua belah pihak.

Pelanggaran di dalam hubungan adat perkawinan di Tana Toraja antara lain:
  1. Songkan Dapo’, artinya bercerai/pemutusan perkawinan yaitu yang bersalah dapat dihukum dengan hukuman Kapa’ dengan membayar kepada yang tidak bersalah sebesar nilai Hukum Tana’ yang telah disepakati pada saat dilakukan perkawinan dahulu.

  2. Bolloan Pato’, artinya pemutusan pertunangan yang sudah disahkan oleh adat yang dinamakan To Sikampa (to=orang;sikampa=saling menunggui) dan setelah menunggu saatnya duduk bersanding makan dari Dulang (Rampanan Kapa' ), maka yang sengaja memutuskan pertunangan itu tanpa dasar harus membayar kapa’ kepada yang tidak bersalah sesuai dengan nilai hukum tana’nya, kecuali jikalau terdapat pertimbangan lain dari pada dewan adat.

  3. Unnampa’ daun talinganna, artinya orang yang tertangkap basah, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ kepada orang tua perempuan jikalau tak dapat dikawinkan terus seperti karena halangan kastanya tidak sama atau dilarang oleh adat, dan demikian pula perempuan harus mendapat hukuman tertentu pula jika kastanya lebih tinggi dari laki-laki.

  4. Unnesse’ Randan Dali’, artinya laki-laki membuat persinahan dengan perempuan yang lebih tinggi tana’nya, maka laki-laki itu dihukum dengan membayar kapa’ sesuai dengan nilai hukum tana’ dari perempuan.

  5. Unteka’ Palanduan atau Unteka’ Bua Layuk yaitu perempuan kasta tingkat tinggi kawin dengan laki-laki kasta tingkat rendahan. Keduanya ada hukumnnya seperti hukuman Dirampanan atau Diali’.

  6. Urromok Bubun Dirangkang, artinya bersinah dengan perempuan janda yang baru meninggal suaminya dan belum selesai diupacarakan pemakaman suaminya, maka laki-laki itu harus membayar kapa’ dengan nilai hukum tana’ perempuan karena tak dapat dkawinkan sebelum upacara pemakaman dari suami perempuan itu, kecuali menunggu sampai upacara pemakaman dari suami perempuan itu selesai tetapi sebelum kawin harus mengadakan upacara mengaku-aku lebih dahulu dan kapa’ yang dibayar itu diterima oleh keluarga dari suami perempuan janda itu.

  7. Dan lain-lain

Pembagian Kasta Orang Toraja

Masyarakat Toraja sejak dahulu kala sudah mengenal kasta (tana’) atau strata soaial, dan bahkan bukan hanya masyarakat Toraja namun beberapa daerah di Indonesia bahkan di dunia memiliki strata sosial atau tingkatan-tingkatan kedudukan masyarakat, bagi masyarakat Toraja kasta atau starata sosial masyarakat ini sangat penting karena berhubungan dengan aluk,adat dan budaya Toraja.

Adapun pembagian kasta(tana’) tersebut terbagi menjadi 4 tingkatan antara lain :

  1. Tana’ bulaan(kasta bangsawan tertinggi)
  2. Tana’ bassi(kasta bangsawan menengah)
  3. Tana’ karurung(kasta rakyat merdeka)
  4. Tana’ kua-kua(kasta hamba)

Menurut falsafah aluk todolo(kepercayaaan asli suku Toraja) semua tingkatan tana’ atau kasta ini berhubungan dengan tugas dan kewajiban manusia dalam mengamalkan aluk todolo.

Semua tingkatan tana’ tersebut dalam masyarakat dan upacara-upacara adat dan budaya sangat diperhatikan, umpama dalam perkawinan dimana seorang kasta rendah laki-laki tidak boleh kawin dengan kasta di atasnya, tetapi sebaliknya kasta laki-laki di atas boleh kawin dengan kasta rendah tetapi turunan anak-anaknya tidak diakui kastanya

Begitupun perceraian dalam keluarga yang bersalah harus membayar suatu denda yang disebut “kapa”. Hukum dendanya sebagai berikut:

  1. Untuk tana’ bulaan nilai hukumannya 24 ekor kerbau sang pala’
  2. Untuk tana’ nassi nilai hukumannya 6 ekor kerbau sang pala’
  3. Untuk tana’ karurung nilai hikumannya 2 ekor kerbau sang pala’
  4. Untuk tana’ kua-kua nilai hukumannya 1 ekor babi betina yang sudah pernah beranak.
Demikianlah pembagian kasta atau strata sosial masyarakat toraja dalam aluk todolo

Bagian-Bagian Penting Tongkonan

  1. LONGA adalah bagian atap yang bentuknya melengkung membentuk huruf U oval. Maknanya adalah sebagai lambang asal usul leluhur orang Toraja, yaitu To Mellao Langi’. Sederhananya bahwa manusia berasal dari langit dimana Deata atau Sang Khalik bertahkta dan akan kembali ke asalnya ketika sudah tiba waktunya. Ludiomai Puang Matua annala Membali Puang.

  2. KALE BANUA adalah bagian badan rumah yang memiliki ruangan untuk tinggal dan dibagi menjadi tiga ruang tempat, yakni Ruang Depan, Ruang Tengah, dan Ruang Belakang (sumbung). Makna sederhana dari Kale Banua ini adalah bahwa kehidupan manusia dalam dunia ini hanyalah sementara dan diberikan tugas serta tanggung jawab masing-masing untuk dilaksanakan. Dan setelah tugas itu selesai maka akan diteruskan kepada keturunannya. Pa’bongianri te lino inan pa’gussi gussianri, Puyari pa’tondokan marendeng.

  3. TULAK SOMBA’ adalah adalah tiang kayu yang dipasang di kedua sisi muka dan belakang Tongkonan. Mengandung makna sebagai pengingat bagi manusia bahwa sebagai ciptaan maka manusia selayaknya melakukan penyembahan atau pemujaan kepada Sang Khalik darimana dia Berasal. Tandana mangbana atau penyembahan.

  4. KABONGNGO’ adalah ornamen yang terbuat dari kayu dan dipasangi tanduk kerbau dan dipasang di depan Tongkonan di belakang Tulak Somba’. Kabongngo’ ini sendiri bermakna sebagai simbol penebusan. Umpotanda pemala’ pengkalossoran ussurui’ kale.

  5. KATIK adalah ornamen yang dipasang di atas Kabongngo’. Bentuknya seperti ular berkepala ayam jago atau biasa disebut Ula’ Rae. Ula’ Rae merupakan hewan mitologi purba dalam keyakinan Aluk Todolo. Katik melambangkan sebuah kepemimpinan, baik dalam lingkup rumpun Tongkonan tersebut maupun dalam lingkup masyarakat yang Lebih Luas. Tang balle ma’ulelean ungkorok Londong Tau Kamban.

  6. PARANDANGAN adalah adalag dasar atau pondasi dari sebuah Tongkonan. Bermakna bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia harus didasari oleh sebuah pondasi yang kuat. Anna matoto’ bendan paloloan kedenni angin mangiri’ bara’ tipaturan turan. Unnonganni tallang kamban urrerung bulo mapapa’.

  7. A’RIRI (Lentong) adalah penyanggah badan Tongkonan yang berdiri kokoh diatas Parandangan. Bermakna bahwa tidak ada satupun hal di dunia ini yang akan kuat bertahan jika tidak ditopang oleh banyak hal. Tallang kambanpi untulak kayunna lamba’ anna manda’ unnisungi dai dai.

  8. LELEN (Petolo’) adalah bilahan yang digunakan sebagai pengait atau pengikat antara tiang dengan tiang yang lainnya. Melambangkan sebuah benang penghubung dan pengikat supaya tiang jauh lebih kuat dan kokoh. Umpori pa’inaan melo ilan kamisaran. Misa’ Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.

  9. PASSURA’ (Ukiran) adalah goresan-goresan pisau para Pande Sura’ atau Juru Ukir yang setiap goresannya mengandung makna dan filosofi luhur orang Toraja. Sehingga kerap juga disebut sebagai Kitap Hidup orang Toraja.

Ma' Parapa'

Ma’parapa’ merupakan kegiatan dengan tujuan menenangkan semua orang yang hadir dalam suatu acara. Pemeran kegiatan ini disampaikan oleh orang yang dipercayakan pihak keluarga, dalam menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang tengah dilaksanakan. Ma’parapa’ berasal dari kata rapa’ yang berarti tenang dan ma’ yang berarti melakukan, itu berarti ketika kata ini disatukan dengan awalan menjadi menenangkan kondisi. Ma’parapa’ biasanya dilaksanakan dalam berbagai kegiatan upacara adat di toraja, baik upacara adat rambu tuka’ maupun upacara adat rambu solo’.
Setelah keadaan tenang maka orang yang ma’parapa’ mengucapkan apa yang ingin disampaikan dalam versi bahasa Toraja tingkat tinggi atau bahasa tominaa, yang biasa disebut singgi’ atau tingga’ dengan tujuan untuk menyanjung, menyapa tamu bahkan menarik perhatian orang-orang yang ditujukan. Dalam kegiatan ini ada beberapa tingkatan yang harus disesuaikan dengan memperhatikan:

    Pertama; proses pengucapan singgi’/tingga’ bergantung pada jenis pelaksana kegiatan upacara adat, yakni kepada orang-orang yang berstrata sosial tinggi tentu berbeda dengan orang yang memiliki strata sosial menengah, apalagi jika pelaksana upacara adat berstrata sosial rendah secara otomatis proses pengucapannya pun berada pada kategori rendah.

    Kedua; Proses pengucapan singgi’/tingga’ untuk menyapa tamu-tamu yang hadir sesuai dengan strata sosial. Bilamana seorang pejabat atau tamu yang berasal dari berbagai instansi atau struktur kepemerintahan.

Maka, singgi’ yang dilontarkan pemeran ma’parapa’ memperhatikan tutur bahasa toraja yang tinggi kepada yang bersangkutan dan jika yang hadir adalah kelompok bangsawan maka deretan makna bahasanya pun tertujuh pada kelas bangsawan sebagai penghargaan. Dengan demikian jika yang hadir adalah strata sosial kelas bawa tentunya si pemeran singgi’ hanya menguraikan hubungan keluarga dan kaitan keluarga dengan mereka. Akan tetapi, zaman sekarang ini kebanyakan orang yang ma’parapa’ tidak lagi memperhitungkan kedua hal tersebut, namun yang terpenting bagi mereka adalah bagus tidaknya bahasa yang dituturkan olehnya. Dengan demikian melanggar ketentuan adat yang berlaku di dalam masyarakat Toraja.

Ma’parapa’ dilakukan pada beberapa upacara adat di toraja baik rambu solo’ maupun rambu tuka’. Seperti; dalam kegiatan “Ma’pasa’tedong”, yaitu semua kerbau yang akan disembeli dalam suatu upacara pemakaman dikumpulkan di halaman tongkonan (Rumah adat) dan kerbau-kerbau itu dihiasi sedemikian rupa lalu dibawanya menuju tempat yang telah ditentukan. Sesampainya di sana semua kerbau dan rumpun keluarga Almarhum mengelilingi tenda yang terbuat dari daun enau (Ongan) sebanyak tiga kali, kemudian mereka duduk lalu orang yang ma’parapa’ menenangkan suasana dan diakhiri dengan penyampaian singgi’ yang ditujukan kepada orang yang telah meninggal dan semua kerbau yang telah dikumpulkan.
Cara mengungkapkan singgi’ di kegiatan “Ma’pasa’ tedong” dilakukan dengan menceritakan sejarah kedatangan kerbau ke Dunia, sampai ke Toraja menurut kepercayaan leluhur masyarakat Toraja. Dan juga fungsi kerbau sesuai dengan jenisnya masing-masing serta aturan tentang kapan dan dimana kebau itu disembeli seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini tentang hal-hal yang disampaikan oleh “ Toma’parapa’” dalam acara ma’pasa’ tedong:

“Tedong dao langi’ tarukna sauan sibarrung, bati’na tandasan sikore-kore. Tedong manoka unnola eran dilagi’ mengkailing umpolambanan enda’ to paonganan. Umpolalan ia sibidangna langi’ umpolambanan ia siamma’ na batara, mellaomi dio randanna langi’ mengkara’pa dio lelean uran.
Tonna dio randanna langi’ mangummaling batu ba’tengna kumua, inde’ tasik tangnalamban minanga tangna orongngi. Apa ma’kada ia PUANG MATUA dao tangngana langi’. Kumua kampaiko sampena bulan tumanan baraninna pariama, ammu polambanan re’dena tasik, mu orongngi ubo’tokna bura-bura.
Siappa’mi sampena bulan tumanan baraninna pariama, siari-arimi lamban sikuan launnorong situndan unnola, tasik tumalantan bura-bura urrirak liku mandalan. Lambanmi tangtemme ikko’na tangmarupe kalungkungna tang bonak liku ara’na.

Tu’tun mi menggantanan dao kapadang-padanganna, tamami pangngala’ kamban to dalankurra manapa’, makianakanmi lan pangngala’ kamban sumena’mi lan kurra manapa’. Ma’tagari lepongan bulan ma’karerang pandan matarik allo, unnindo’ kapuranpanggan lako nene’na tedong.
Titundammi nene’na tedong lan pangala’ kammban, sikutana sangke’deran sikuan sangtiangkaran, susi tanete lumomban pangngala’ ma’palumingka buntu ma’paludiomai. Sia dio-diona mai sia mentangngana lalanna, ullambi’mi bamba puang padangna Dua Bontik daenanna Tallu Topongna Enrekang tungka sanganna. Mangngado duka to Endekang, apa tedong noka’mo lalendu’ mengkailingmo lalempang, umpatarru’mi lalanna tu’tunmi lepongan bulan ilan pandan matarik allo. Di indo’mi kapuran pongan diona tedong, kumua tedong tang sa’pe anakna tang messala turiangna, tobang oi sampeoi, tilende’ tikadang oi. Iapi nadiala disape anak di palele turiangna ke bendanni kapemalaran rara tallu sampa’ batu lalikan dio rampe matallo, iapi nadiala disape anankna di palele turiang ke bendanni kapemalaran massebokan dio rampe matallo, kedenni to sandarangka’na na ba’gi PUANG ewanan sanda makamban anna tanda tasikki mamasena PUANG langngan tangngana langi’, iapi nadiala disape anakna di palele turiangna ke denni toma’rampanan kapa’ umpulung rara buku langngan tongkonan di gente’ to sule langngan banua, iapi nadiala disape anankna di palele turiangna ke bendanni ada’na rampe matampu’ ketulangda’i sangka’na kabotoan kulla’ susi ilan te allo totemo ten ilan te kulla’ di marassan.
Koe……e laku sampa’mo tedong ma’ bulu aluk karambau ma’songgo bisara. Kumua

  1. Balian: iko balian pampang ma’bulu aluk pa’parandukna datu luwu allona ina’, pampang parande matoto’na eran salassa’na datu luwu. Kumua tommu mane mengkara’pa tama te lili’ na lepongan bulan ta’de pa pa’gantian bulawan mu, tommu mane tidukun tama te gonting na pandan matarik allo tangsombo pa pantarisan makaraeng mu. Apa diembong bulawan dandanan sangka’ dao te nanlili’ na lepongan bulan, diseno nane’ tangkarauan pananda bisara ilan te gontingna pandan matarik allo, naria’ moko pa’ palumbangan sangka disanga moko balian. Belanna ikomo sikambi’ pampang maluangan sulu’ sumaluna lombok kalandona sangka’, sapu boko’ tangbeluakanna tanete layuk lamba’na pananda bisara. Dikua dennoupa’ dipoupa’, paraya dipoparaya namaluangan tengka ke’de’na inde mai anak na tampa gayang bongsu nakundo tarapang, na sumapu randanan tang beluakan, nasumarrin bone- bone tang pessanisian, tang kandean dena’ tang intokan olang-olang.

  2. Saleko: iko saleko pantaranakna bintoen tasak pang lolloanna asi-asi malillin, tuna’ turiangna gaun tikembong. Ikomo tedong unnola eran di langi’ allona ina’, karambau umpolambanan enda’ to paonganan to kulla’ pure diboko’. Ba’gi misanna lepongan bulan tage’- tageranna pandan matarik allo. Iko tedong malute di pobelo pusuk tama rante kalua’ mabangko di pobembeng daun induk tama tandung kalonaran. Tanda tasikna ewanan sanda matasak ilan tangngana tondok, toding bulayanna ewanan sanda masokan ilan ma’ lipu mangka di tarik. Ikomo tedong di pobia’ borrong tama rante kaiua’ karambau di posulo parrang tama tandung kalonaran, bia’ borrong ilan tangngana bongi sulo parrang ilan paseko malillin. Dikua denno upa’ napoupa’ paraya napoparaya inde’mai toma’ rapu tallang angga toma’ kaponan ao’, anna tangtitodo lentek matallo matampu’ ulunna langi’ ingkok na batara.

  3. Lotong Boko’ : Iko lotong boko’ tanda tasikna tongkonan layuk, toding bulayanna esungan pa’kalandoan. Kumua lotong boko’ bubunganna tindak sarira longana mian kila’ pamiringna, dapo’ rongko’ to dapo’na dapo’ tamben bala tedong.

  4. Bonga : Iko bonga ikomo tedong napopendio’ ma’pu’ to ma’rapu tallang, karambau napopembollo me’rekan to ma’kaponan ao’. Tanda tasikna tonkonan, toding bulayanna esungan. Kumua digente’ noka’ lapa’de apinna mengkailing la merrambu royanna.

  5. Pudu’ : Iko pudu’ ba’ginna padang di pantilang, tarukna pongkekumorrok bati’na pundu sarae. Ikomo tedong di pamatua induk ilan rante kalua’ karambau di pabanu’ karurungan ilan tandung kalonaran. Dikua dennoi upa’ inde’ mai toma’ rapu tallang angga toma’kaponan ao’, anna matua induk untorroi kuli’na padang banu’ karurungan ilan telili’ na lipu daenan. Ke denki’ lana sarak sa’pe PUANG MATUA lasituru’ lellenganna punti, sipanglola baan maririnna bane’. Dennoi upa’ na matua induk kanno’koran, matua buangan kada, matua tengka ke’de’

  6. Sokko : Iko sokko tanduk tuo rokko tanduk tuo tama. Tedongna Babu’ Solong, sokko mebali tungkasanganna. Tedong tang umpasombo matata’, ma’tan-ma’tan untannun papatu inaya. Sombo opi anna lalong ombo’opi anna gandang. Dikua dennoi upa’ annasombo napapatu lalan anna ombo’ anna papatu inaya.

  7. Todi’: Iko todi’ malute disa’bu’ dudung pindan. Ikomo tedong dipalidan dao tangngana sondong, karambau dipatuara’ dao limbu balana tananan sampa’. Di pasikambi’ kada disedan sarong, dipasi taranak bisara di toke’ tambane baka. Tedong di saile sule dio randanna langi’, karambau di tiro tuara’ dio lelean uran. Tanda tasikna kumua kita to sangdunduan, pindan sangngtimburan gori-gori. Umpobasse basse sipadiong lisunna pala’, panda si pailanan se’ponna kalepa’ tang sipairisan angin membuntunna, tangsipasimboan darinding mentanetena. Tallan di kapadangan sitoe lima, malabu di kawaianna sisapu kambutu’. Tanda tasikna kumua sikamali’ di pobalo’, siangkaran di poparaya. Miasa’ kada dipotuo pantan kada dipomate.

  8. Sambao’ : Iko sambao’ ikomo tedong dilando lalanni tama tangngana pasa’, karambau di lingka pa’taunanni tama lisu lembangna tammuan. Ikomo tedong umpokili’ dua bangko, karambau umpobulu dua bulu. Ikomo tedong malute na poserotalla’ to ponto litakan, mabangko napopembase irusan to kallang karauan. Iko tedong mangka di basse allona ina’, malute di pa’buangngi sanda biringna mabangko dipa’kolakki sanda randanna. Ke denni temai dandanan sangka’ di lenda pesalu, ke denni temai batokan penanda bisara di lenda sumallang. Dikua dennoi upa’ anna sundun tang beluakan, anna upu’ tang pessanisian”.

Berdasarkan kutipan di atas. Maka, dapat dijelaskan bahwa untuk kutipan paragraf pertama diceritakan bahwa kerbau itu berasal dari langit, dimana kerbau itu takut turun ke Dunia melalui tangga yang disebut “Eran di langi’”. Kerbau itu turun di tepi Bumi menurut kepercayaan lelulur masyarakat Toraja. Namun demikian, kerbau itu kebingungan karena takut menyeberangi lautan yang sangat luas sehingga TUHAN berkata bahwa engkau harus menunggu waktu yang tepat baru engkau menyeberang dengan cara meniti bui air laut. Setelah waktu itu tiba, menyeberanglah kerbau-kerbau itu tanpa ada satupun bagian tubunya yang basa terkena air.
Sesampainya di daratan kerbau itu masuk ke hutan dan berkembang biak disana. Disinilah leluhur orang Toraja mengadakan ritual memohon kepada kebau dan kerbau itupun saling memberitahu untuk berangkat menuju ke Toraja. Saat kerbau-kerbau itu sedang melewati daerah Enrekang, orang Enrekang pun memohon agar kebau itu tinggal di daerah mereka, akan tetapi kerbau-kerbau itu tidak mau lagi untuk singga. Lalu meneruskan perjalananya hingga sampai di Toraja maka orang Toraja mengadakan musyawarah untuk menentukan kapan dan dimana kerbau itu dipotong.

Selanjutnya kutipan no.

  1. menceritakan bahwa apa bila kerbau itu di potong berarti menandakan bahwa acara yang diadakan adalah acara yang besar. Pemotongan kerbau balian mengandung harapan bahwa semoga seluruh rumpun keluarga mendapatkan wawasan yang luas dalam mencari nafkah dunia ini. kutipan

  2. menceritakan bahwa kerbau saleko adalah satu-satunya kerbau yang melewati tangga dari langit saat turun ke bumi, dan juga merupakan simbol harta kekayaan orang toraja dan menjadi penerang dalam melakukan suatu upacara adat rambu solo’.

  3. menceritakan bahwa kerbau lotong boko’ merupakan simbol tongkonan.
  4. mengandung makna bahwa kerbau bonga juga merupakan simbol tongkonan yang tetap melestarikan adat dan strata sosial pemilik tongkonana tersebut.

  5. mengandung makna bahwa kerbau pudu’ itu adalah kerbau yang dituakan di antara semua kerbau yang ada dalam upacara yang sedang berlangsung dan menjadi simbol pengharapan rumpun keluarga bahwa semoga mereka sumua panjang umur dan menjadi orang yang dituakan dalam masyarakat.

  6. menceritakan bahwa kerbau sokko adalah kerbau milik Babu’ solong yang disebut sokko mebali karena dapat merespon jika diberikan pertanyaan. Kerbau ini melambangkan bahwa walaupun seseorang kaya dan sudah melaksanakan upacara besar rambu solo’ di antara yang lain. Namun, tetap rendah hati.

  7. menceritakan bahwa kerbau todi’ adalah kerbau yang melambangkan persatuan dan ikatan kekeluargaan masyarakat Toraja dari atas tongkonan yang harus dijunjung tinggi masyarakat Toraja di mana pun berada.

  8. menceritakan bahwa kerbau sambao’ adalah kerbau yang diikat oleh suatu perjanjian bahwa apabila ada kekeliruan yang terjadi didalam upacara tersebut maka kerbau tersebutlah yang mananggungnya. Oleh karena itu, kerbau sambao’ paling terakhir dipotong dalam upacara rambu solo’dan kerbau sambao’ juga digunakan oleh hamba yang ingin merdeka untuk menebus diri.



| Next|

Topada Tindo

Persekutuan ini dikenal dengan nama “To Pada Tindo”, To misa’ pangimpi (orang-orang yang mimpi/harapan yang sama), persatuan yang seia sekata, dan satu cita - cita dengan semboyan “Misa’ Kada dipotuo, pantan kada dipomate” (Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh) dan perlawanan ini disebut “Untulak Buntunna Bone, Ullangda’ To Sendana Bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). Kemungkinan penambahan terjadi ketika perang mulai berlangsung. mereka adalah:

  1. Pong Kalua’ di Randan Batu : To bendan pakorok londong, ilan lili’na lepongan bulan,Tonna ditulak buntunna bone, Tonna dilangda’ to sendana bonga
  2. Pong Songgo Limbu lan di Limbu : To bendan paloloan, To tunannang pembala’baran (Atau) To tunannang meosik tanda saungan, Ilan tikunna matari’ allo, tonna dilutu Tombang lepongan bulan. Diossa’ balatana tikunna matari’ allo
  3. Ne' Sanda Kada di Limbu : to bendan matimpolok maa’, To tunannang ma’tetuk doti langi’, Tonna diindo’ kapuran pangngan
  4. Ne' Tikuali lan di Ba'tan : to unnindo’ kapuran pangngan, To unnambe’ pelambaran bolu, Tonna bendan basse sangsorongan pindan, Tonna tunannang panda sanglentenan tallo
  5. Sangga Langi' lan di Pantilang : To umparra pangulu makati’
  6. Karasiak lan di Madandan : to umpabendan suke di bonga tonna dipamatua induk basse kasalle, to umpatunannang songkang di anggilo tonna dipabanu’ karurungan panda dipamaro'son
  7. Landoaak na Batara Langi’ lan di Boto’ : todi lando lalanni tonna di tanan pasa’ bongi, todilangka pa’taunanni tonna dipatunannang tammuan di pamalillin
  8. Ambabunga’ lan di Makale : To diposulle gayangna tanduk tata’, Todiposolon tarapangna takia’ bassi
  9. Pong Boro lan di Maruang
  10. Tumbang Datu lan di Bokko : To unnimbo karokayu nangka’
  11. Arring lan di Mandetek : To umpabendan to sisulu basse, umpatunannang to sisolon sisariri, tonna ditulak buntunna Bone
  12. Palotongan lan di Malakiri : to sangbasse nene’ta, to sangkapala panda kapuanganta, untulak buntunna Bone
  13. Patobok lan di Tokesan : to ma’ bulo sanglampa rokko basse kasalle
  14. Kondo Patalo lan di Lampio : to ma’ bulo sanglampa rokko basse kasalle
  15. Paliuh, Pagonggang lan di Batualu : to ma’ bulo sanglampa rokko basse kasalle
  16. Ne’ Lollo lan di Leatung : to untoe manda’ basse, umpatulangdanni panda dipamaroson
  17. Tomarere lan di Gantaran : to ma’ bulo sanglampa rokko basse kasalle
  18. Palondongan lan di Simbuang
  19. To Gandang lan di Sarapung : to ma’ bulo sanglampa rokko basse kasalle
  20. Pagunturan lan di Bebo’ : to dipotalinga rara’na bala’kaan ra’, dipomata bulaanna tananan dama’
  21. Ne’ Tikuali lan di Ba’tan
  22. To Bangkudu Tua lan di Malenong
  23. Takia’ Bassi lan di Angin-Angin : to dipolondong kila’na bala’kaan ra’, dipotangkoan la’te lambunna tananan dama’
  24. Patabang Bunga’ lan di Tadongkon : To unnumbu’ pasoan bangi’
  25. Salle Karurung lan di Paniki : to urra’ta’ balayan sialikna, to untina’ tualle samaranna
  26. Kattu lan di Buntao’
  27. Palinggi lan di La’bo’ : To unnambe’ pesangle lebani’
  28. Sa’bu Lompo lan di Bonoran : to umpamarongka basse kasalle
  29. Pirade lan di Tonga : to umpamarongka basse kasalle
  30. Patasik lan di Pao : to umpamarongka basse kasalle
  31. Ne’ Malo’ lan di Tondon : To turun sangbala tedong, Mellao sangpangkung karambau
  32. Poppata’ lan di Nanggala : to umpamarongka basse kasalle
  33. Patora Langi’ lan di Langi’ : to umpamarongka basse kasalle
  34. Ne’ Patana’ lan di Kanuruan ; to umpamarongka basse kasalle
  35. Ne’ Banne Langi’ lan di Kadundung : to umpamarongka basse kasalle
  36. Tibak Langi’ lan di Saloso : to umpamarongka basse kasalle
  37. Ne’ Kalelean lan di Sarira : to umpamarongka basse kasalle
  38. Banggai lan di Salu Sopai : To ussuru’ kanan kairinna pokki’, ussara’ka’ tingayo boko’na tang mendelo2
  39. Songgi Patalo lan di Lemo : to dipotanduk tata’na pa’ealian
  40. Lunte’ lan di Mareali : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  41. Rere lan di Lion : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  42. Baan Langi’ lan di Lapandan : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  43. Saarongre lam di Tondok Iring : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  44. Marimbun lan di Bungin : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  45. Panggeso lan di Tiromanda’ : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  46. Sando Pasiu’ lan di Pasang : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  47. Tolanda’ lan di Santung : to ma’bulo lollong, to ma’ tallang tang ke lesoan, untulak basse kasalle
  48. Bangke Barani lan di Manggau : to ma’bulo lollong, to ma’ tallang tang ke lesoan, untulak basse kasalle
  49. Parondonan lan di Ariang : to ma’bulo lollong, to ma’ tallang tang ke lesoan, untulak basse kasalle
  50. Sundallak lan di Burake : to ma’bulo lollong, to ma’ tallang tang ke lesoan, untulak basse kasalle
  51. Panggalo lan di Lemo : to ma’bulo lollong, to ma’ tallang tang ke lesoan, untulak basse kasalle
  52. Bara’padang lan di Gandang Batu : To ma’bulo sanglampa, Rokko basse kasalle, Ma’ao’ tangkelesoan rokko panda dipamaroson
  53. Pong Arruan lan di Sillanan : To ma’bulo sanglampa, Rokko basse kasalle, Ma’ao’ tangkelesoan rokko panda dipamaroson
  54. Pong Dian lan di Tinoring : To ma’bulo sanglampa, Rokko basse kasalle, Ma’ao’ tangkelesoan rokko panda dipamaroson
  55. Pong Barani lan di Marinding : Todi parande duanna basse adinna
  56. Tobo’ (digelari juga Tali Mariri) lan di Tampo (Tanduk Bulaan) : Todi po bara’ baraninna basse adinna
  57. Pong Turo lan di Baturondon : To ma’bulo sanglampa rokko basse kasalle
  58. Puang Balu lan di Tangti : Balo’ mangarranna tananan dama’
  59. Kulukulu Langi’ lan di Palipu’ : to umpabendan suke dibonga, To umpatunannang songkang Dianggilo’ tonna diindo’ Basse sangsorongan pindan
  60. Pula’ lan di Tengan : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  61. Saranga’ lan di Lemo Mengkendek : Toma’ bulo sanglampa, toma’ ao’ tangkelesoan untulak basse kasalle
  62. Tanduk Pirri’ lan di Ala’ : To di polondong saunganna kadatuan
  63. Pokkodo lan di Tagari ; to sangbasse nene’ta, to sangkapala panda kapuanganta, untulak buntunna Bone
  64. Kundu Bulaan (Mendila) lan di Sa’dan
  65. Pangarungan lan di Tallung Lipu : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  66. Taruk Allo lan di Tallung Lipu : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  67. Tengkoasik lan di Barana’ : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama
  68. Ne’ Rose’ lan di Sangbua : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  69. Lotong Tara lan di Bori’ : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  70. Bulu Bassi lan di Deri : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  71. Allopaa lan di Kayurame : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  72. Rongre Langi’ lan di Riu
  73. Tangke Datu lan di Buntu Tondok
  74. To Langi’ lan di Pongsake
  75. Mendilakila’ lan di Rongkong : To ungkambi’ passaparan padang
  76. Ne’ Darre’ lan di Makiki : to la pakorok londong dio passapan padang, umpenandai mata kali
  77. Ne’ Mese’ lan di Baruppu’ : to umpenandai pangala’ tamman, to umpanundu’ kurra manapa’, unnala ipo lite, kayu tang dampianna
  78. Sarungu’ lan di Pangala’ : to manoka di tiro rokko, unniling dimanta lusolo’ lako to palutu tombang, to paossa’ balatana
  79. Bonggai Napo lan di Napo : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  80. Usuk Sangbamban lan di To’tallang : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  81. Ambe’ Bendo’ lan di Awan : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  82. Ledong lan di Bittuang : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  83. Patikkan lan di Bambalu
  84. Gandang Langi’ lan di Mamasa : To siria katonan padang bendan pekorok londong diong matampu’na lepongan bulan
  85. Ne’ Darre’ lan di Manipi
  86. Pong Rammang lan di Malimbong : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  87. Tandiri Lambun lan di Tapparan : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  88. Batotoi Langi’ lan di Malimbong : To untulak tengko situru’, ullangda’ batakan siolanan
  89. Pakumpang lan di Buntao’
  90. Barumbun lan di Butao : to unnindo’ lumbangan, to unnambe’ pa’panannangan
  91. Tandirerung lan di Ulusalu : kurungan kalle-kalleaanna padang di Pattan, tangkoan la’te lambunna ma’dika matasak
  92. Pong Manapa’ lan di Se’seng : to membatu ate pokki’na, metaronggo malia’ pai’ tang mendelo2na
  93. Tokondo lan di Buakayu : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  94. Mangi’ lan di Rumandan-Rano
  95. Mangapa’ lan di Mappa’
  96. Pappang lan di Palesan : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  97. Batara Bau lan di Bau’ : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  98. Pong Bakkula’ lan di Redak : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  99. Tangdierong lan di Baroko (Enrekang) : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  100. Bonggai Rano lan di Balepe’ : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  101. To Layuk lan di Simbuang : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  102. Patitingan lan di Taleon : to ma’ bulo sanglampa rokko kada situru’, ma’ ao’ tang kelesoan rokko bisara misa’ bunganna
  103. Toisanga lan di Tanete (Rano)
  104. Sodang lan di Ratte-Buakayu : to umpamatua induk basse kasalle
  105. Lapatau lan di Tombang-Mappa’ : to umpamatua induk basse kasalle
  106. To Ri Somba lan di Garappa’-Mappa’
  107. Sege’ lan di Bassean (Enrekang) : to unnia’ tanete lumembang, to ussuka’ sukaranni bottona palo2
  108. Mangopo lan di Sima – Simbuang
  109. Ponipadang lan di Makkodo-Simbuang : to pakorok londongna matampu’, meosik tanda saunganna kalambunan
  110. Balluku’ lan di Batu Tandung – Mamasa : to pakorok londongna matampu’, meosik tanda saunganna kalambunan
  111. Masanga lan di Pana’ – Mamasa
  112. Marrang Bulaan la di Mala’bo – Mamasa : to pakorok londongna matampu’, meosik tanda saunganna kalambunan
  113. Sanggalangi lan di Pantilang
  114. Parassean lan di Karre : to di porinding penaanna rampe matallo, dipopekulambu ba’tengna to kakendekan kulla’
  115. Sangga Matua lan di Bokin : to sangbasse nene’ diponene’, sangkada panda to dolo kapuanganta
  116. Tali Barani lan di Bokin
  117. Batara Langi' lan di Boto' : todi lando lalanni tonna di tanan pasa’ bongi, todilangka pa’taunanni tonna dipatunannang tammuan di pamalillin
  118. Pong Sussang lan di Ke’pe’- Ranteballa
  119. Emba Bulaan lan di Sikapa-Ranteballa
  120. Arrang Bulawanna lan di lemo – Ranteballa : To umpenandai mata kali, Dio rampe matallona lepongan bulan
  121. To Ipojaoan lan di Kande Api – Ranteballa
  122. Puang ri Renge lan di Tabang – Ranteballa
  123. Bakokang lan di Lantio – Ranteballa
  124. To Layuk lan di Baroko – Duri
  125. To Kalu’ lan di Endekan : to unnia’ ulu buntunna bone, to ussuka’ palo2 to sendana bonga
  126. Pakabantunna lan di Sesean : To maluang sambu’ batu ba’tengna, Unnimbo kapuran pangan, Tonna dipabendan bala’kaan ra’
  127. Ne’ Bulu Tedong lan di Pangala’
  128. Ne’ Tulla’ lan di Ke’pe’
  129. Pong Padondan lan di Tikala : Pande paliukna bala’kaan ra’, kaissananna tananan dama’
  130. Bangkelekila’ lan di Akung : todi sakka pa’taunanna, untandai allo rongko’ dipabendanni tananan dama’, unnissan lingkana bulan, untuntun pa’taunan
  131. Amang lan di Ramanden : to untangla’ lemba’ le’to, To unnumpu’ pearra’ ka’tu
  132. Kadere' lan di Duri : To undasi’ pokana lembang, To umpasilasuk le’tona komba bulaan
  133. Mendila Lalong lan di Sa'dan : To maluang sambu’ batu batangna, To masinggung karangan pasiruanna, To untaranak kalimbuang boba, Umpanundu’ panambu tang ma’ti

Pada rampomi tama padang di Sarira, pada umpokadami tindo bonginna, pada ussalumi mamma’ karoenna. Misa’ tindo napotindo, misa’ mamma’ na pomama’. Digantinnamo To Pada Tindo, digente’mi to sitinti' pangimpi. La dimaparongkami kombong kalua’ illan padang di Sarira, la dipamama'mi tumimbu malambe’ illan Pata’padang.
Dilando lalannmi bainna Pong Manapa’ lako Se’seng dilangla palaunnmi bonde’na Datu Muane lan di Ledo, disanga pokki diganti mendelo-delo. Diosokmi batu titanan tallu, di patunanangmi tarongko tirindu lalikan. Dipa’to’mi panampo to Lambun, dipatunannangmi pa’kombong to Padang iring, dipandanmi langan, dibato’mi karumpengan ao’; disembangmi bane’ situang bombang sumomba mata allo diti’pa’mi lako situang daun sumomba lu rekke. Napoballaran ampa’ pokki’ lan padang di Sarira, naporantean tuyu mendelo-delo lan Pata’padang.
Dipabendannmi Banggai lanmai Salu ussuru’ kanan kairinna pokki’, tuladanmi to dipodatu muane lan mai Garatuan ussara’ka’ tingayo boko’na mendelo-delo. Bendanmi Patangbunga’ lan mai Tadongkon unnumbu’ passoanbangi’, tulangdanmi to dipodatu muane umparra pangulu makati’; bendanmi Pong Sanggoi Limbu ma’timpolak maa’, tulangda’mi Pong Kaluak lan mai Randan Batu unnambe’ pesangle lebani’, bendanmi Ne’ Tikuali lan mai padang Ba’tan unnindo’ kapuran pangan, tulangda’mi to dipodatu muane unnambe’ pelambaran bolu.
Ditobokmi makairinna pokki’, disumbelimi tang mabekona mendelo-delo. Ditimbakmi pa’dunna pokki’ dadi batu, dikillangmi paina’ mendelo-delo kombong buku padang. Randukmi dipopentoean manda’ la untulak Buntunna Bone, tipamulami dipopennanti matoto’ la ullangda’ to Sendana Bonga . Diindo’mi basse kasalle, diambe’mi panda dipamaro'son, disanga: ”BASSE DIPAMATUA LANGI’ PANDA DIPAMATUA TANA”. Kalebu tallangmi kombong kalua’ lan padang di Sarira, membuloala’mi tumimbu malambe’ lan Pata’padang kumua:”MISA’ KADA DIPOTUO, PANTAN KADA DIPOMATE, ROKKO MI TANG MARATOI BOMBONG, DIONG MI TANG TU’PE DAUNNA”. Apa denki’ manii ma’dua takin, dengki manii masselle’ patomali la untengkai kalo’i te basse kasalle, la ullenda pasale umai te panda dipamaro'son; la dipamamma’ rokko lambananna Ambe’na Bu’tu Bulaan to tang makapanikuan.”
Randukmi dipabendan dama’ lan padang di Sesean dipetulangdanmi lan padang di Sado’ko’, dipatunannangmi lan padang di Gasing; dipamillikmi mata to buta anna di e’te’ lima to sekong.

Dirambi bombonganmi Aru Pute sola sambo Boko’na, dipatu’pe daunnami Ma’ria Manda’ sola rinding tingayona. Ka’tumi angin di pudukna Aru Pute sola sambo boko’na, tepokmi passararonganna Ra’ria Manda’ sola rinding tingayona. Lu mokkonmi lalanna sesana bala’kayan raa’ langan padang di Bone, tumetemi pa’gulinganna ra’dakna lempan pa’ealian langan to Sendana Bonga tallupi palo-palo.
Randukmi tang sisele’ Lepongan Bulan anna to Sendana Bonga, tipamulami sisaranga’ Matari’ Allo anna padang di Bone. Tontongmi sitanda eali masae lako sitanda musu. Apa kaluangan ia batu ba’tengna Kadere’ illan di Duri, apa masinggung ia pasiruan Amang lan di Rumadan. Umpokole kombami batang dikalena langan padang di Bone, umpobembang parayoanmi tondon di batangna tama Lepongan Bulan. Umpatuka’ pa’inaan la undasi’ pokana pindan, umpasolo’ pa’ba’tengan la umpasilasuk la’tona komba bulaan. Umpatuangka’mi bate lentekna to dipolondongna kada lan mai padang di Bone, umpatirimba dukami passoeanna to di pomanuk muanena pumpuran pau-pau lan mai lili’na Lepongan Bulan

Pada rampomi lan padang di Malua’, diosokmi tumimbu malambe’ illan padang di Rumedan. Kalebu tanllangmi Kombong Kalua’ la mamma’ rokko pindan tang damma, memun bulo ala’mi tumimbu malambe’ la tibambang rokko gori-gori tang beluakan. La sule sangkutu’ banne, la tibalik sang buke amboran. Dipamarongkami Kombong Kalua’ illan padang di Bambapuang, dipamamakmi tumimbu malambe’ illan pintu deata. Ditananmi basse kasalle, disusukmi panda diparo'son, ditanan dipamatua langi’, lolang. Ditananmi basse kasalle. Diosokmi panda dipamaro'son disanga: ”BASSE SANGLENTENAN TALLO’, PANDA SANGSORONGAN PINDAN”.

Bendanmi Ne’ Tikuali lan mai Ba’tan unnindo’ basse kasalle, tulangdanmi to dipodatu muane unnambe’ panda dipamaroson. La ditanda tasikmi pinda tang bamma’ Buntunna Bone anna Lepongan Bulan; la ditoding minangaimo gori-gori tang beluakna to Sendana Bonga anna Matari’ Allo. Dirokmi sokko sangbali unnindo’ basee kasalle, dikua: ”IA NADEN UNTENGKAI KALO’ BASSE KASALLE, IA NADEN ULLENDA PASALA UMA PANDA DIPAMAROSON , IA NATEMME’ TANDUK SOKKO ROKKO LA’TANA PADANG IA NASEROK TANDUK TARANGGA LAKO MATALLO MATAMPU”. Ditutungmi bangkaan pu’pu’ lan tangana tondok ke den ullenda pasala uma panda dipamoroson Dirodo susu baine dikua:”Anna tang memmimi’ ke den untengkai kalo’ basse kasalle, ke den ullenda pasala uma panda di pamaroson”.
Ditundanmi basse dipaturuan guntu’ diruyanganmi panda dipamaroson. Disusukmi buku rapona Pakila’ Allo, ditananmi bamban tang mabekona Ambe’na Bu’tu Bulaan, dikua:

”Ia naden ussandak salu basse kasalle, ia naden ussobu mata kalambanan panda dipamaro'son la umpolalan lalanna Pakila’ Allo to pasisurung lindo alukna, la umpamalamban lambanna Ambe’na Bu’tu Bulaan to tang mekasangka’ to tang mekapanikun”. Dipopa’indo’mi basse kasalle langan Bone, dipopa’ambe’mi panda dipamaro'son tama Lepongan Bulan. Dilenten tallo’ langan Bone tang tumba tiapa, disorong pindan tama Lepoangan Bulan tang bamba tang beluakan. Tontongmi dianna batu silambi’ masae lako do dandan karangan siratuan.

Pong Mula Tau Versi Aluk Todolo

Mitos terjadinya manusia toraja versi Datu Laukku'

Pada mulanya segala sesuatunya gelap tapi langit dan bumi sudah bersatu atas perintah Puang Matua (Sang Pencipta semesta Alam), kemudian langit dan bumi terpencar dan terjadilah terang. Melalui Sauan sibarrung (tabung angin kembar) dari langit Puang Matua meniup nafas dan abu ke bumi dan lahirlah manusia pertama dinamai Datu Laukku' yang merupakan nene' manusia pertama di bumi.

Bersama dengan manusia pertama yang lahir di bumi melalui Sauan sibarrung lahir pula:

  1. Pong pirik-pirik atau neneknya angin
  2. La Ungku atau neneknya kapas
  3. Takke Buku atau neneknya padi
  4. Riako atau neneknya besi
  5. Menturiri atau neneknya ayam
  6. Tonggo atau neneknya kerbau
  7. Allo Tiranda atau neneknya Racun

Menurut ajaran Alukta yang diceritakan sambung menyambung dari pendahulu kita sampai saat ini maka leluhur manusia (Toraja) yang pertama diciptakan oleh Maha Pencipta atau Puang Matua bernama Datu Laukku'
Datu Laukku' memperistrikan perempuan bernama Datu Ettan anaknya Batara Ulo' dan cucu dari Kando Matua dari langit sebelah utara, maka lahirlah anak-anaknya sebanyak 7 orang masing-masing mempunyai nama dan fungsi sebagai berikut:

  1. Mula Tau mengayomi kapuran pangngan dan aluk 7777 serta menjadi penghuni batara/pusat angkasa (ba'tangna langi')
  2. Seno Bintoen mengayomi Upacara Sembangan Ongan
  3. Pare'-pare' mengayomi upacara Remmesan Rara
  4. Roya Tumbang mengayomi upacara Bate Manurun
  5. Lua' Toding mengayomi upacara Tokanan Tedong
  6. Landa Samara mengayomi upacara Tananan Bua'

Salasatu keturunannya yang bernama Pong Mula Tau memperistrikan perempuan bernama Arrang di Batu yang dikaruniakan Puang Matua kepadanya melalui sebuah batu besar setelah dimohon dengan persembahan kurban sesajen piong sang lampa, maka lahirlah anak-anaknya sebanyak 7 orang juga masing-masing mempunyai nama dengan tugas-tugas sebagai berikut:

  1. Pande Patangnga' untangngaran sukaran aluk
  2. Pande Paula' unnula' pananda bisara
  3. Banno Bulaan ungkambi' tananan pasa'
  4. Barrang Dilangi' ungkambi' tetean tampo
  5. Papa Langi'na ummanuk-manukki rampanan kapa'

Manurun Dilangi' ungkambi' aluk sola pemali mellao langi' turun di bintoen mendemme' kapadanganna umpokinallo tengko randuk napasiriwa sanda memba'ka' ma' lando petorak lan kuli'na padang di Pongko'

Seorang keturunannya bernama Manurun Dilangi' melihat bahwa di muka bumi ada tempat yang maha luas untuk berusaha dan berkembang biak. Ia lalu minta isin kepada Puang Matua untuk turun ke bumi dan dikabulkan. Ia diberi kelengkapan secukupnya dan pedoman hidup yang bernama aluk Pitu Sa'bu Pitu Ratu' Pitu Pulo Pitu lise'na balo'na sanda mairi' kumuku'na pantan sola nasang Aluk sipiak tallang sangka' sisese arrusan.

Ia turun melalui sebuah tangga pelangi beserta beberapa orang lelaki pengikutnya dan dibantu oleh Poppako'-pako' dan Pong Baradona da Bilolo' sampai menginjakkan kaki di sebuah daratan lalu diberinya nama Pongko'.

Setelah manurun dilangi' tiba di tempat tujuan Bilolo' serta poppako'-pako' dan pong Baradona akan kembali ke langit melalui tangganya maha pelindung, merekapun lalu menyerahkan biji-biji kapas agar ditanam di kebun dan kelak dan sudah berbuah dan kering supaya dipetik. Isi buah kapas yang putih bersih itu dipintal jadi benang lalu ditenun dan setelah rampung maka itulah yang digunakan untuk menutupi badan dan serta itulah yang membedakan manusia dan hewan.

Buah kapas lambang perbuatan suci(putih bersih) dan akar serta pucuknya menjadi obat atau tamba' tomalangi'. Menutupi badan itulah pangkal susilah dimana manusia (Toraja) sejak itu dengan berpedoman aluk dan pemali untuk mengenal ibu dan bapaknya sebagai Puang Matua ma' penduan( Tuhan yang kedua), mengenal hubungan kakek nenek, adik dan kakak sepupu dan seterusnya.

Setelah manusia turun temurun mendiami Pongko' perkembangannya menjadi berlipat ganda demikian juga kebutuhan-kebutuhannya lahir batin. Persaingan mencari rezeki menjadi ketat sehingga timbul kejahatan untuk merebut hak-hak orang lain seperti bahan makanan, pakaian,harta benda bahkan merampas suami atau istri orang lain. Karena suasana sudah sedemikian rumitnya, maka timbullah inisiatif orang-orang terkemuka untuk bermusyawarah untuk mufakat memecahkan masalah itu agar masyarakat tertib kembali. Ditentukan bahwa barang siapa bertindak melakukan kejahatan atau perbuatan yang merugikan orang lain baik itu laki-laki maupun perempuan maka ia diwajibkan membayar ganti rugi baik moral maupun materil kepada pihak-pihak yang dirugikan dengan berlipat ganda dan ganti rugi ini dinamai Kapa'. Maka sejak itu masyarakat Pongko' mulai diklarifikasikan kedalam 4 tingkatan tana' (kasta) atau status sosial.

Ondo Pitu (Tarian Tujuh)

Tarian Pitu di Toraja Sebelum pemerintah Hindia Belanda menguasai Tana Toraja yaitu sebelum tahun 1906, di Tana Toraja berlaku peradilan adat Toraja yang dinamakan Tarian Pitu atau Ra’ Pitu (tujuh bentuk peradilan) yang sampai sekarang masih sering berlaku atau dilaksanakan pada pengadilan adat di tempat yang jauh dari kota dimana sudah berlaku peradilan yang diatur oleh hukum pengadilan negeri.
Tujuh bentuk peradilan tersebut adalah cara mengadili atau menyelesaikan persengketaan atau pertentangan dari dua pihak yang bersengketa yang tak dapat lagi diselesaikan bersama dengan mempergunakan saksi-saksi dan bukti – bukti yang nyata yang dipergunakan oleh peradilan adat mendamaikan atau menyelesaikan persengketaan, maka diberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang bersengketa memilih salah satu dari ketujuh bentuk peradilan yang sudah tertentu itu untuk mengakhiri atau menyelesaikan perselisihan itu serta mendapatkan keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.
Menurut sejarah Toraja umumnya dahulu kala seluruh daerah Tana Toraja menghormati dan mentaati peradilan dengan Tarian pitu karena berpangkal pada ajaran Aluk Todolo yang menyatakan bahwa peradilan demikian sejak dari dulu kala memang sudah daerah adat, yang menurut mitos peradilan pitu serta sejarah peradilan di Tana Toraja terjadi dahulunya di atas langit pada waktu nenek pertama manusia belum turun ke bumi.
Itulah sebabnya maka seluruh masyarakat Toraja yang masih menganut Aluk Todolo sangat yakin dan percaya akan kekuatan dan kedudukan dari Tarian Pitu tersebut, yang dalam melaksanakannya harus terlebih dahulu dimintakan doa berkat dan kekuatan kepada Sang Maha Kuasa serta dengan sumpah dan kutuk pula oleh penghulu Aluk Todolo kemudian peradilan ini dilaksanakan. Juga peradilan dengan cara Tarian Pitu ini dilakukan jikalau tiba-tiba di suatu tempat tidak terdapat orang lain/pihak lain sebagai penengah dalam perselisihan dua orang yang berselisih, maka keduanya memilih saja salah satu dari ketujuh bentuk peradilan dari tarian Pitu, dan keduanya menyandarkan atau mendoakan kepada Yang maha Kuasa agar diberkati dalam perselisihan dengan penyelesaian cara melakukan Tarian Pitu. Jika kedua yang berselisih terus melakukannya tanpa ada orang lain yang menyaksikannya, dan setelah selesai ada pihak yang ternyata kalah, maka keduanya mentaatinya sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak dan ditaati keduanya.
Tarian Pitu tidak lain dari pada cara pertarungan secara langsung kedua pihak yang berselisih tanpa bantuan orang lain yang dilakukan dalam waktu singkat saja terus diketahui siapa yang bersalah atau kalah dan siapa yang benar atau menang, yang keduanya puas serta mentaatinya, karena diyakini telah mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tarian Pitu yang dimaksudkan tersebut di atas adalah masing-masing:

  1. Si Pentetean tampo/Siba’ta Tungga’ (perang tanding satu lawan satu), yaitu satu cara peradilan dari Tarian pitu yang paling berat karena perkelahian atau pertarungan satu lawan satu dengan menggunakan Tombak atau pedang yang tajam, yang dilakukan di atas pematang sawah dimana kiri kanannya digenangi air, atau dengan cara membuatkan satu kurungan dalam bentuk persegi empat yang dipagar kuat-kuat dan kedua orang yang brsengketa mengadu kekuatan dan ketangkasannya dalam kurungan atau gelanggang tersebut. Sebelum melakukan perkelahian keduanya disumpah oleh penghulu Aluk Todolo atau Tominaa dengan doa barang siapa yang tidak benar akan hancur dan kalah dan yang benar tidak akan apa-apa, sesudahnya digiring masuk ke gelanggang dengan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak. Pelaksanaan Sipentetean Tampo atau Siba’ta Tungga’ ini dihadiri pula oleh dewan pemerintah adat dimana keduanya mengadakan pertarungan itu, yang dalam waktu beberapa menit saja terjadi kurban dari kedua orang yang bertarung yang ada kalanya seorang kurban tetapi daerah ada pula yang kedua-duanya kurban (gugur). Hasil dari pertarungan itu setelah selesai segera diumumkan oleh dewan adat siapa yang kalah dan siapa yang menang dimana seluruh keluarganya menerima sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak, karena didasarkan atas keyakinan mereka bahwa kebenaran yang berbicara yang dalam masyarakat Toraja dikatakan Ma’pesalu artinya sesuai kebenaran.

  2. Siukkunan, yaitu satu cara peradilan dimana kedua belah pihak yang berselisih disuruh menyelam bersama-sama ke dalam air sungai dan barang siapa yang lebih dulu muncul di permukaan air maka dialah yang kalah dalam perselisihan, yang juga sebelum melakukan itu keduanya disumpah lebih dulu oleh penghulu Aluk Todolo. Hasil pertarungan dengan menyelam ini segera diumumkan oleh dewan adat sebagai suatu keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.

  3. Sipakoko, yaitu suatu cara peradilan dimana dua orang bersengketa/berselisih disuruh mencelupkan tangan ke dalam air panas yang mendidih, juga didahului dengan doa dan kutuk dari penghulu Aluk Todolo kemudian secara serentak keduanya mencelupkan tangan ke dalam air panas, dan barang siapa yang lebih dahulu menarik tangannya dari dalam air panas, maka dialah yang dinyatakan kalah dalam perselisihan itu yang hasilnya segera diumumkan oleh dewan adat sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap.

  4. Silondongan, yaitu suatu cara peradilan dari dua orang atau pihak yang berselisih dimana kedua belah pihak memilih satu ayam jantan masing – masing kemudian diserahkan kepada penghulu Aluk Todolo untuk dikutuk dan didoakan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kedua ayam itu dipakaikan taji atau pisau, dan dipertarungkan pada saat itu juga dihadapan Dewan Adat dimana kedua belah pihak yang bersengketa itu berada. Menurut keyakinan mereka itu bahwa orang yang benar ayamnya akan menang dan orang yang salah ayamnya akan kalah atau mati. Dan hasil pertarungan ayam ini segera diumumkan oleh Dewan Adat yang menghadirinya yang oleh kedua belah pihak mentaatinya sebagai keputusan yang berlaku mutlak dan berkekuatan tetap. Dahulu peradilan Silondongan ini tidak memakai pisau atau taji tetapi sekarang sudah memakai taji karena jikalau tidak memakai taji perkelahian dari dua ayam itu berlangsung lama dan tidak segera memberi keputusan. Menurut mithos dari peradilan silondongan ini adalah memang peradilan yang sudah terjadi di atas langit yang kemudian diturunkan ke bumi pada nenek manusia diikuti seterusnya oleh manusia.

  5. Sibiangan atau sire’tek, yaitu suatu cara peradilan yang sama dengan cara loterei dengan mempergunakan dua bila biang (semacam bambu) yang diberi tanda sebagai tanda pilihan dari orang yang bersengketa yaitu seorang memilih belakangnya dan seorang memilih mukanya, dan kedua pihak berselisih duduk berhadapan di depan penghulu aluk todolo untuk menerima kata – kata sumpah dan doa bahwa barang siapa yang salah akan kalah dan barang siapa yang benar akan menang atau selalu terbuka pilihannya. Cara demikian dilakukan tiga kali berturut yaitu biang dibuang dan siapa yang kurang pilihannya terbuka maka dia akan dinyatakan kalah yaitu dengan perbandingan dua banding satu (2:1) dan atau tiga berbanding nol (3 :0), dan yang mempunyai angka lebih banyak dialah yang dinyatakan benar dan segera diumumkan sebagai keputusan yang berlaku mutlak atau berkekuatan tetap.

  6. Sitempoan yang biasa disebut sisumpah, yaitu dua orang yang berselisih disuruh mengucapkan sumpah keduanya dihadapan dewan adat dimana doa = sumpah diucapkan oleh penghulu aluk todolo lebih dahulu kemudian diulangi dengan tidak salah – salah oleh yang bersengketa bergantian, yang isinya antara lain:“ Puang matua, deata titanan Tallu Esunganna, Tomembali puang laun rimpi’na lan tangngana padang sia tang laun pasitirona’ kameloan sia kamanamanan sae lakona ketangumpokadana’ tang tongan, ...dst. Artinya: Tuhan sang pencipta, Dewa-dewa sang pemeliharaan tiga serangkai dan leluhur akan menghancurkan aku dan penghidupanku serta akan mengutuk aku selama – lamanya jikalau aku tidak berkata benar, ...dst. Dalam mengucapkan sumpah demikian itu, juga menyebut jangka waktu berlakunya sumpah sebagai waktu tempat menunggu akibat-akibat dari sumpah seperti orangnya mati atau suatu malapetaka yang menimpa dirinya. Jangka waktu yang berlaku dalam menunggu hasil dari sumpah yang telah dilakukan itu, oleh masyarakat Toraja mengenal jangka waktu itu dalam 3 (tiga) hari, 6 (enam (hari), 30 (tiga puluh) hari, atau setahun padi (sekali panen). Perhitungan waktu-waktu tersebut ini adalah perhitungan waktu yang lasim dan selalu dipergunakan dalam pembagian waktu di Tana Toraja . Peradilan cara demikian berlaku pula pada dua orang yang bersengketa dimana tak ada orang lain sebagai penengah yang dinamakan Sisumpah atau Sipenggatan, yaitu keduanya menyumpah diri berganti-ganti, yang sangat banyak kejadiannya di dalam masyarakat Toraja dengan memegang barang yang menjadi sengketa lalu bersumpah kedua orang yang sedang memegang barang itu. Peradilan sitempoan ini mulai mengalami perubahan sewaktu pengaruh-pengaruh dari luar masuk di Tana Toraja karena cara demikian itu dianggap terlalu kejam karena jikalau dikalah dalam Sitempoan berarti dikalah dua kali yaitu sudah korban dan kemudian dikalah lagi, maka waktu pengaruh Kristen mulai masuk yang disusul dengan pengaruh peradilan pemerintah Belanda yang menyatakan bahwa pengambilan sumpah adalah pembuktian kebenaran masalah, dan jikalau seseorang bersedia disumpah maka sumpahnya itu dipercaya dan ketidakbenarannya atau sumpah palsunya sudah ditebus dengan pertaruhan nyawanya. Karena peradilan Sitempoan sudah berubah statusnya sejak beberapa puluh tahun, maka peradilan ini tidak ditakuti lagi oleh masyarakat, karena dianggap sudah agak enteng yaitu asal jangan dikalah biarlah disumpah saja sekalipun ada akibatnya nanti, dan inilah menyebabkan timbulnya sumpah palsu. Pengambilan sumpah pada peradilan adat Toraja masih sering pula terjadi di antara orang yang bersengketa tetapi pelaksanaannya sama dengan cara – cara pengambilan sumpah pada peradilan negeri.

  7. Sirari Sangmelambi’, yaitu satu cara peradilan dalam bentuk perang kelompok yang hanya dilakukan pada subuh dan pagi hari (sirari= perang; sangmelambi’= sepagi). Perang sepagi atau Sirari sangmelambi’ ini adalah bentuk peradilan yang paling akhir terjadi dari pada Tarian Pitu tersebut yaitu peradilan yang menggantikan peradilan adu kekuatan dengan tarik menarik dan tolak menolak seperti yang pernah terjadi dalam pembagian daerah Padang di Puangngi Tallu lembangna, pertarungan adu kekuatan merebut kedudukan yang teratas. Sirari Sangmelambi’ ini ialah seorang atau satu pihak mengarak atau mengumpulkan pengikut lalu menentukan batas untuk diperebutkan siapa yang dapat melintasinya. Sirari Sangmelambi’ ini benar-benar perang mempertahankan daerah tertentu yang dilalukan hanya pada subuh sampai matahari terbit harus dihentikan. Masing-masing pihak mempertahankan daerahnya dimana terdapat satu pihak penengah yang akan menyaksikan peperangan sepagi itu serta mengawasi jikalau sudah ada diantara yang berperang itu korban, dan jikalau dalam perang terus ada yang korban terus pihak penengah yang mengikutinya berteriak sebagai tanda berhenti karena sudah ada bukti kekalahan yang dikatakan To’domo Damo’ artinya sudah ada yang luka. Pihak yang luka dinyatakan kalah sekalipun kekuatannya lebih besar, dan pada saat itu peperangan dihentikan, dan yang luka itu dikatakan kalah perang dan disebut To Ditalo (orang yang kalah), dan segera penguasa adat sebagai penengah mengumumkan siapa yang kalah itu. Sirari Sangmelambi’ itu biasanya dilakukan oleh satu rumpun keluarga atau oleh satu penguasa adat terhadap penguasa adat lainnya yang Sirari Sangmelambi’ ini sangat besar akibatnya tidak sama dengan Tarian Pitu yang lain tersebut diatas. Sering terjadi yang kalah harus menyerahkan seluruh harta bendanya kepada yang menang, dan penyerahan harta keseluruhan itu dikatakan di pakalao. Sirari sangmelambi’ itu sering terjadi pada waktu mulai berkecamuknya perang saudara di Tana Toraja yaitu sekitar tahun 1800 sampai pada datangnya pemerintahan Belanda.