Selamat Datang ,@}:-',-- Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

Masa Puang Tamboro Langi'

Pusat aluk sanda pitunna pada mulanya ada di daerah Rura wilayah Bamba Puang, Enrekang, namun dengan tenggelamnya padang di Rura, yang diakibatkan oleh seorang penguasa di sekitar Bamba Puang yang bernama Londong di Rura, yang mengadakan perombakan besar mengenai sukaran aluk. Penguasa ini dikenal sebagai seorang yang kaya raya, tetapi keras, lalim, kejam dan melanggar sukaran aluk dengan membolehkan anak-anak kandungnya kawin satu sama lain, sehingga dikutu’ oleh puang matua.

Dengan tenggelamnya Londong di Rura , maka keturunan pong mula tau dilanjutkan oleh Londong Dilangi’. Salah satu keturunannya yaitu puang ri buntu kawin dgn dakka manurun yang melahirkan Tangdilino. Setelah peristiwa binasanya Londong di Rura berarti putusnya hubungan dengan Puang Matua yang menjadikan situasi dan keadaan menjadi kacau. Dalam kondisi yang demikian , Tangdilino menghubungi Pong Suloara (ahli sukaran aluk) dari Sesean yang disertai oleh Pong Bua’ Uran dan Indo’ Bekak Allo, petugas adat di Sesean untuk berangkat ke Rura untuk menata kembali sukaran aluk yg sudah kacau tersebut. Dalam kombongan kalua’,tumimbu malambe’(musyawarah besar)di Rura yang diprakarsai Tangdilino tersebut, ditata kembali sukaran aluk, yang mencakup, aturan hidup,aturan memuliakan puang matua, menyembah deata (dewa) dan menyembah to membali puang (para leluhur).

Dalam sejarah Toraja dikenal Pong Suloara’ digente’ to untindok sesanna mangsan, to unnala ra’dakna malabu artinya Pong sulo ara’ dinamai penyelamat dengan mengambil hal-hal yg baik dari aturan yg sudah hancur dan menyusun aturan penyelamat masyarakat akibat kelalaian Londong Dirura. Pong suloara’ dari sesean, topatutungan bia’ menetapkan kembali 3 macam tradisi yang meliputi :

  • Tradisi burake Tambolang,
  • Tradisi Burake Tangana
  • Tradisi BurakeTattiu’

Jadi penggarisan tersebut berarti terdapat 3 tradisi atau Lesoan Aluk , dengan persyaratan masing-masing dalam melaksanakan upacara persembahan dan pemujaan, baik dalam upacara syukuran maupun dalam upacara kedukaan.

Kemudian diadakanlah upacara memohon ampun kepada Puang Matua, sang pencipta, atas segala kesalahan dosa yang diperbuat Londong Dirura dan memohon berkat atas seluruh warga yang luput dari malapetaka yang menimpa Londong Dirura sekeluarga, dalam suatu upacara yang disebut Untindok Sesana Mangsan, Unnangkaran Ra’dakna Malame. Kemudian Aluk Sanda Pitunna yang sudah ditata kembali , disebarkan oleh Pongkapadang atau Tandililing, ke daerah bagian barat Tana Toraja, bersama Burake Tattiu’, sedangkan Pasontik berangkat ke daerah bagian timur dari daerah Toraja bersama Burake Tambolang. Kemudian Tangdilino berangkat dari Rura dan tinggal di Bukit Sarimbano, Mengkendek, bersama Burake Tangngana dengan membawa pranata sosial Tounirui’ Suke Dibonga, Toungkandei Kandian Pindan.

Tangdilino berpindah dari Rura di Bamba Puang menuju Buntu Sarimbano di Marinding, Mengkendek dan membentuk pemukiman baru di tempat itu. Mereka memindahkan Banua Puan dari daerah Rura Bamba Puang , ke Marinding, Mengkendek, tanpa membongkarnya terlebih dahulu. Cara memindahkan rumah itu dikenal dengan sebutan Ramba Titodo. Rumah tersebut difungsikan sebagai tempat kegiatan sekaligus sebagai tempat tinggal dan tempat bermusyawarah yang disebut Banua Puan atau Tongkonan pertama orang Toraja .
Tangdilino mempunyai 9 orang anak yang disebar keseluruh wilayah Lepongan bulan atau Toraja Raya, untuk menyebar luaskan aluk sanda Pitunna dan kawin dengan anak penguasa adat didaerah itu seperti :

  • Pabane'
  • Parange’ (ke- Buntao)
  • Palanna’ (ke- Sangalla)
  • Patabang (tinggal di Marinding,Mengkendek)
  • Pataba’ (ke-Pantilang, luwu’)
  • Bobong Langi’ (ke-Pitu ulunna salu ,Mamasa)
  • Tele Bue’ (ke- Duri ,Enrekang)
  • Pote Malea (ke-Rongkong, Luwu’) dan menyebar ke Sulawesi tengah
  • Sirrang ri Dangle menjelajahi seluruh daerah Makale, untuk menyebarkan aluk sanda pitunna

Kemudian anaknya yang lain yaitu Pabane, anak pertama, membawa aluk sanda pitunna kekesu’ dengan mengawini Ambun ri Kesu’, putri penguasa di Kesu’. Kemudian dari kesu’ disebarkan oleh Pata’langi’ ke Tikala’ dan Pairi’( Tandililing) ke Piongan,Dende’, Kurra, Awan dan Baruppu’, serta untuk daerah Pangala’,Riu dan sekitarnya disebarkan oleh Tolangi’(bagian timur), Allo Paa ( bagian tengah) dan Paluang ke bagian barat yang meliputi Pangala’, Kapala Pitu, Sarambu, Ta’ba’ dan Sapan. Saat ini ada perbedaan mengenai acara Ma’nenek di wilayah itu yakni Dende’, Kurra dan Piongan melaksanakan Ma’nenek sekali dalam 10-12 Tahun dan boleh membawa nasi dan belundak ke to’liang, sedangkan Awan dan Baruppu’ melaksanakan acara Ma’nenek, setiap tahun dan tidak diperkenankan membawa nasi dan belundak ke to’liang. Jadi dari Kesu’ aluk sanda pitunna disebarkan ke seluruh wilayah daerah Toraja Utara, sehingga Kesu’ disebut : Panta’nakan lolona aluk sola pemali. Ada versi lain mengatakan bahwa Kesu’ disebut Panta’nakan lolona aluk sola pemali, karena setelah kedatangan Puang Tamboro Langi dengan Aluk Sanda Saratu’nya, maka pengembangan Aluk Sanda Pitunna berpindah ke Kesu’.

Kesembilan anak Tangdilino ini mengumpulkan masyarakat yang pada waktu itu masih hidup tersebar dan terisolasi di lereng-lereng gunung dalam hutan yang sepi . Kemudian wilayah-wilayah tersebut dihimpun dalam persekutuan yang disebut Bua’. Gabungan Bua’ membentuk wilayah persatuan yang lebih luas disebut Lembang atau Arruan yang dipimpin oleh Ampu lembang. Dalam perkembangan lebih lanjut terbentuklah 40 Arruan atau Lembang ( Arruan Patang Pulo) sebagai wilayah adat otonom atau berdiri sendiri, yang melanjutkan sifat lembang yaitu kehidupan berperahu. 40 Wilayah kesatuan adat yang dikenal dengan nama Lembang atau Arruan patang pulo Etnis Toraja tersebut, tersebar di beberapa Kabupaten saat ini yaitu : Toraja, Toraja Utara, Pinrang, Polewali, Mamasa, Luwu’, Enrekang ,Mamuju dan sampai ke Sulawesi Tengah. Gelar yang biasa dipakai oleh pemimpin mereka adalah: Parengnge’, Indo’ Bua’, Siambe’, Sindo’, Sokkong Bayu, Balimbing Kalua’, To Bara’ dan Ma’dika.

Keempat puluh lembang atau Arruan ini disebut Tondok Lepongan Bulan, Tana Matarik Allo, karena mereka terkait dalam satu pranata Aluk Sanda Pitunna dan mempergunakan simbol persatuan dalam bentuk ukiran yang disebut Bare’allo atau Pa’bareallo (ukiran bentuk matahari), yang biasanya dipasang di rumah-rumah mereka,seperti di bagian Lindo Para Rumah.

Jadi mereka mengakui bahwa Tangdilino dari bukit Sarimbano, Marinding Mengkendek, sebagai leluhur pendahulunya dan mengakui Banua Puan sebagai Tongkonan Leluhur mereka. Mereka diikat oleh sebuah Basse yang disebut Basse To Sisampu Pissan atau Basse Toga’taran Sallolo. Jadi peristiwa penyebaran Aluk Sanda Pitunna yang dilaksanakan oleh Tangdilino beserta dengan anak-anaknya keseluruh wilayah Toraja Raya terjadi pada abad ke-10.


[sitarru'na kasaeanna Puang Tamboro Langi']

No comments:

Post a Comment