Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada dunia mistis.
Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te lino, pa’gussali-salian lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng.
Ungkapan ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup. Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana.
Cara menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di sana.
Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat darimana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.
Pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun pada sisi lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.
Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’= panas). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup. Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk) yang punya konsekuensi, sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:
- Tana’ Bulaan
- Tana’ Bassi
- Tana Karurung
- Tana’ Kua-kua
- Dipasilamun Tallo’
- Didedekan Palungan/dikambuturan Padang. Prosesi penguburannya disembayang dan kemudian dikuburkan tanpa memotong babi
- Disilli’
yaitu upacara penguburan yang paling sederhana ini berlaku bagi orang miskin yang mana dahulu mereka hanya membekali mayat dengan telur ayam saja, tetapi saat ini mereka telah menguburkan keluarga mereka dengan memotong seekor babi
- Dibai Tungga’. Dibai tungga artinya hanya dipotongkan babi satu ekor
- Dibai A’pa. Dibai a'pa' artinya hanya dipotongkan empat babi
- Diisi (diberi gigi)
- Dipasangbongi
yaitu upacara penguburan orang yang telah meninggal hanya satu malam acaranya dilakukan dirumah dan hanya seekor kerbau yang dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini untuk orang tua dari golongan rendah dan menengah yang kurang mampu ekonominya.
- Ma’tangke Patomali. Matangke patomali berarti seimbang atau dipotongkan dua ekor kerbau dan beberapa ekor babi
- Dipatallungbongi
yaitu upacara penguburan orang yang telah meninggal hanya satu malam acaranya dilakukan dirumah dan hanya seekor kerbau yang dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini untuk orang tua dari golongan rendah dan menengah yang kurang mampu ekonominya.
-
Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang. Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
- Dipalimang bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam.
Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi. hari ketiga keluarga kedatangan tamu dengan membawa kerbau, babi dan ubi-ubian. Pada upacara ini dibuatlah patung orang yang telah meninggal dan terbuat dari bambu yang disebut Tau Tau Lampa. Dan Tau tau ini dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu penguburan pakaian dan perhiasan diambil kembali. Tidak semua perkampungan mengadakan upacara penguburan sejenis dengan ini yang mana upacara ini adalah upacara penguburan yang paling tinggi di tempat tersebut. Malam terakhir diadakan acara Ma'Parando yaitu semua cucu almarhum yang hadir diarak pada malam hari duduk di bahu laki-laki dengan perhiasan lengkap seperti pakaian penari yang terdiri dari emas gayang, Kandaure, mereka di bawa mengelilingi rumah sebanyak tiga kali dengan membawa obor. Disertai teriakan senda gurau penonton. Selain selama lima malam acara Ma'badong terus berlangsung.
- Dipapitung bongi (tujuh malam).
Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor setiap hari dan malam ada pemotongan hewan kerbau dan babi, bagi keluarga dekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Pada saat tamu datang pemotongan kerbau dan babi sembilan sampai duah puluh ekor. Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau diberikan kepada tamu.
Upacara penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati diarak dengan pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat upacara kedua). Upacara ini disebut ma’paolo/ma’pasonglo’. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasai emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan satu. Setelah tiba di rante, mayat dinaikkan ke satu rumah tinggi khusus tempat orang mati itu dimanakan lakkian. Acara – acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba, dan acara tari – tarian.
- Dilayu-layu, yaitu upacara rambu solo' tingkat tinggi dengan minimal dua belas ekor kerbau dipotong
- Rapasan Sundun/Rapasan Barata, yaitu Upacara rambu solo' tingkat tinggi dengan minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
- Rapasan di baba gandang, yaitu upacara rambu solo' tingkat tinggi dengan jumlah kerbau yang dipotong paling rendah 30 ekor.
Ketiga tipe rapasan ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang yang mahal harganya. Pada rapasan sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu kecuali warna kerbau putih (tedong bulan) atau dengan kata lain semua jenis kerbau harus di penuhi.
Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’ yang mesti dilakukan atas perintah aluk. [Next | Sitarru'na]
No comments:
Post a Comment