Rumah adat orang Toraja disebut Tongkonan, dimana pada jaman dahulu kala Tongkonan merupakan pusat penyelenggaraan adat-istiadat dan budaya. Seiring perkebangan penduduk dan semakin berkembangnya peradaban nenek moyang orang Toraja maka Tongkonan dalam menyelenggarakan pemerintahan adat dilakukan pemekaran tetapi terpusat pada satu tongkonan utama atau Tongkonan Layuk.
Konon menurut cerita awal mula Tongkonan Layuk di Toraja hanya ada 2, yaitu:
- Tongkonan Layuk Sulo Ara' di daerah Sesean (masuk dalam Kabupaten Toraja Utara saat ini)
- Tongkonan Layuk Marinding di daerah Mengkendek (masuk dalam Kabupaten Tana Toraja Saat ini)
Dikatakan Tongkonan Layuk karena darisanalah terbentuknya pranata sosial kemasyarakatan, dimana aturan dan sistem pemerintahan terbentuk. Dimana pengertian Tongkonan Layuk adalah Tongkonan dipo aluk-alukna, dipo ada'-ada'na, dipo-pemali pemalinna, dipo rara-rarana, dipo buku-bukunna. artinya bahwa Rumah Adat tersebut merupakan sumber awal kehidupan dan pranata masyarakat Toraja.
Kemudian beberapa dekade kemudian Tongkonan Layuk berkembang menjadi empat (4), dimana diawali ketika terjadinya pelanggaran tatanan adat di daerah Rura (masuk dalam wilayah Endrekang saat ini), sehingga menyebabkan bencana yang sangat dahsyat terjadi di daerah itu dimana konon ceritanya tana di Rura itu runtuh kebawah menyebabkan seluruh manusia yang menghadiri acara saat itu meninggal semuanya karena tertelan bumi dan ditimbun tangga penghubung antara langit dan bumi.
Para pemangku adat di wilayah selatan saat itu dan Toraja pada umumnya mengalami ketakutan dan kebingungan, dan menyesali apa yang telah terjadi akibat keegoisan seseorang.
Tetapi dalam doa yang senantiasa dipanjatkan mohon ampun kepada Tuhan (Puang Matua) maka para leluhur diberikan petunjuk untuk menghubungi dan menghadirkan To Burake Pong Sulo Ara' dari Sesean untuk memperbaiki dan mengatur kembali tatanan adat yang telah dilanggar oleh Londong Di Rura.
Oleh karena itu utusan dari Rura datang menemui To Burake Sulo Ara' dan kemudian Toburake Pong Sulo Ara' berangkat dari Sesean menuju Rura bersama dengan Pong Bua Uran, Mandai Kema dan Lo'ko' Isi serta para utusan.
Sesampainya di Rura To Burake Pong Sulo Ara' serta rekan-rekannya melakukan upacara pertobatan kepada Tuhan atas segala dosa yang telah dilakukan dan aturan yang telah dilanggar oleh manusia.
Setelah semuanya selesai dan pranata yang telah di susun kembali dan direstui oleh Puang Matua (Tuhan) maka pranata sosial ini disebarkan kembali ke seluruh wilayah Toraja ada yang kebagian barat Toraja, ada yang ke bagian timur Toraja, ada yang ke bagian tengah Toraja, dan ada yang kebagian utara Toraja.
Disnilah awal mula bertambahnya 2 (dua) Tongkonan Layuk sehingga menjadi 4 (empat) untuk mempermudah proses penyebaran pranata yang telah diretrukturisasi oleh To Burake Pong Sulo Ara'.
Selama sekian tahun lamanya pranata sosial ini diikuti dan ditaati oleh masyarakat waktu itu, sampai datangnya belanda ke Toraja. Stelah itu perkembangan Tongkonan Layuk menjadi 12 menurut catatan belanda, tetapi pada kenyataannya Pranata sosial yang ada di toraja tetaplah empat (4). Yang beraneka ragam adalah tradisi.
Kedua belas (12) Tongkonan Layuk yang dicatat belanda ini masih sering mengalami perdebatan, ada yang mengklaim itu adalah unsur politik jaman belanda ada pula dengan pendapat yang berbeda. Tetapi bagi masyarakat Toraja itu bukanlah sesuatu yang membuat mereka terpecah-belah melainkan dengan Tongkonan Layuk ini akan semakin mempererat rasa kekeluargaan dan persatuan masyarakat Toraja pada umumnya.