Pong Tiku sebagai penguasa Pangala', menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat Tana Toraja dengan mengembangkan tanaman kopi.
Sebagai penghormatan/mengenang kepada Pong Tiku sebagai salah satu Pahlawan nasional Indonesia maka dikota Makassar ada satu nama jalan di Kota yang diberi nama Jalan Pong Tiku yang terletak di Kecamatan Tallo.
Sedangkan di Toraja nama jalan penghubung Kota Rantepao dan Kota Makale diberi nama Jalan Pong Tiku, sebuah Bandar Udara dan sebuah Rumah Sakit di beri nama Pong Tiku
Pong Tiku dilahirkan pada tahun 1856 di Tondon Negeri Pangala' Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Toraja Utara dari pasangan Siambe’ Karaeng dan Lai' Le’bok.
Pong Tiku adalah pahlawan nasional Indonesia yang telah berjuang mempertahankan tanah kelahirannya dari Penjajah Belanda pada tahun 1905 – 1907.
Sejak dinobatkan menjadi penguasa Pangala' sekitar Tahun 1881, pria yang juga dikenal sebagai Ne’Baso ini membenahi perekonomian rakyatnya dengan mengembangkan tanaman kopi.
Tanaman kopi mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa itu dan menyebabkan terjadinya perebutan perdagangan kopi. Namun, Pong Tiku selalu bertindak bijaksana sehingga beliau selalu meraih kemenangan.
Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di sekitarnya.
Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada akhirnya peperangan antara Pangala' dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.
Kemajuan perekonomian masyarakat Toraja terutama komoditi kopi, menyebabkan daerah ini menjadi salah satu incaran pemerintah Hindia Belanda untuk dikuasai. Oleh karena itu mendengar desas desus itu Pong Tiku mulai menyusun strategi perang berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan daerahnya.
Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama benteng Buntubatu.
Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja.
|
Mula-mula Belanda menginvasi Luwu kemudian setelah Belanda menguasai Luwu, pihaknya ingin menguasai Tana Toraja. Mendengar niat tersebut, Pong Tiku mengeluarkan pernyataan di hadapan rakyatnya,
“Noka lette’ku noka ulangku naparinta Balanda (kaki dan kepalaku tidak mau diperintah Belanda).
Dengan ketidak-mauannya diperinta oleh Belanda maka pada tahun 1905, Pong Tiku menyiapkan pasukannya untuk melawan Belanda. Bersama pasukannya, Pong Tiku membangun
tujuh (7) buah benteng pertahanan.
Tiga benteng pertahanan di Bagian Barat Tana Toraja, yaitu :
- Benteng Lalik Londong
- Benteng Buntubatu
- Benteng Rinding Allo
Empat benteng pertahanan di bagian timur Toraja yaitu:
- Benteng Buntu Asu
- Benteng Tondok
- Benteng Kaddo
- Benteng Mamullu
Persiapan yang telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi gempuran Belanda.
Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna menaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa.
Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda.
Kemudian komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.
Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya.
Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke Pangala', namun serangan itu gagal.
Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.
Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong Tiku.
Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng.
Air cabai-pun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap menyebabkan peperangan tak seimbang.
Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian, gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng.
Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan Oktober 1906.
Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata.
Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan benteng Buntubatu.
Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng tersebut meski pun masa gencatan senjata belum berakhir.
Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah Sulawesi Selatan.
|
Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal
12 Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri.
Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat perjuangan melawan Belanda.
Pada tanggal 26 Juni 1907, pasukan Pong Tiku mengalami kekalahan dari segi peralatan militer Belanda sehingga harus mundur. Hampir semua benteng pertahanan yang dibangun Pong Tiku dihancurkan oleh Belanda.
Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lalikan pada
awal bulan Juli 1907.
Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya
mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada dalam tekanan,
Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.
Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati Belanda di tepi
Sungai Sa'dan.
Pong Tiku diberi hukuman mati oleh Belanda. Di tepi Sungai Sa'dan, tepatnya di sisi Bukit Singki'.
Juli 1907. Pong Tiku pun berdiri tegak menghadapi regu tembak pasukan Belanda. Sungguh ia menyambut kematiannya sebagai seorang ksatria sejati
Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke tangan Belanda.
Semoga semangat perjuangan Pahlawan Pong Tiku senantiasa menjiwai setiap pemuda-pemudi masyarakat Toraja sehingga menjadi generasi muda yang tangguh, ulet, dan pantang menyerah serta menjauhkan diri dari pengkhianatan Tondok Lepongan Bulan. Semoga dengan semangat perjuangan Pong Tiku masyarakat Toraja Umumnya dan Pemuda-Pemudi khususnya berani berdiri tegak menolak ketidak adilan dan ketidak benaran.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Pong Tiku alias Ne'baso dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 73/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002.
Terima kasih Pahlawan Pong Tiku (Ne' Baso'), Engkau telah mengajarkan kami bagaimana menjaga harga diri
Nokana' tu lana parenta mata mabusa, mengkailingna' tu lana tiro sokko to ma'mata laen
Pissan raki' didadian tang penduanki' la ullolangngi te daenan
Tondokku aku, daenan makaraengku, tondok kuni ditibussanan
Deito angku mate di pasilamun lolo ku, de'ito angku sikalamma litak garaganku
Na Puang Matua mora untanda sa'bi katonganan anna po dandanan sangka'i mimik kandaurena lamunan loloku
Saya tidak mau diperintah oleh Belanda, saya tidak sudi dipandang rendah oleh biji mata warna lain
Kita hanya satu kali dilahirkan dan hanya satu kali hidup dalam dunia ini
Inilah negeriku, tanah air kemuliaanku, negeri dimana aku dilahirkan
biarlah aku di tanam bersama ari-ariku, biarlah aku kembali ketanah sebagai asalku
biarlah Tuhan Yang Maha Benar menjadi saksi kebenaranku dan semoga menjadi tanda warisan kebesaran bagi anak cucuku