Selamat Datang ,@}:-',-- Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

Dasar Ukiran Toraja


Tana Toraja terletak di pulau Sulawesi, tepatnya Sulawesi Selatan dikenal sebagai suku seribu budaya menyimpan banyak keunikan dan kebudayaan tersendiri. Kebudayaan-kebudayaan yang ada merupakan warisan leluhur yang masih lestari sampai saat ini. Tana Toraja tak hanya memiliki ritual budaya, tetapi juga memiliki sejumlah kebudayaan dalam bidang seni rupa, salah satunya yaitu ukiran.

Ukiran ini dicetak menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela, atau pintu. ukiran Toraja biasanya menggunaan motif ukiran yang bermacam-macam, anatara lain, cerita rakyat, binatang yang disakralkan, benda di langit, peralatan rumah tangga atau tumbuh-tumbuhan.

Ada 130 jenis Passura’ (ukiran) dan semuanya merupakan pengembangan dari empat dasar ukiran yang dalam bahasa Toraja disebut dengan Garonto’ Pasura’. Garonto’ Pasura’ ini biasanya terdapat di Rumah Tongkonan maupun bangunan-bangunan yang dianggap perlu untuk diukir.

Berikut ini adalah empat dasar ukiran (Garonto'/Garanto'Passura') Toraja :

  1. Pa’Barre Allo

    Ukiran jenis ini menyerupai bulatan matahari dengan pancaran sinarnya. Jenis ukiran ini banyak ditemukan pada bagian muka dan belakang rumah adat Tana Toraja (Tongkonan), pada bagian atas berbentuk segitiga (Para Longa).

    Makna dari ukiran ini adalah percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Puang Matua (Tuhan yang Maha Esa), ataupun sebagai ilmu pengetahuan dan kearifan yang menerangi layakanya matahari.


  2. Pa’Tedong

    Dari puluhan jenis ukiran Toraja, ukiran inilah yan paling sering digunakan. Dimana ukiran ini berarti Tedong “Kerbau”, mengapa disebut dengan kerbau karena ukiran ini memiliki motif seperti tanduk kerbau.

    Makna dari ukiran ini adalah sebagai lambing kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Toraja dan keluarga.

  3. Pa’ Manuk Londong

    Ukiran yang menyerupai Ayam Jantan. Biasanya ukiran ayam jantan ini diletakkan diatas ukiran Pa’Barre Allo yang banyak dijumpai di rumah adat Tongkonan.

    Makna dari ukiran ini adalah sebagai lambang keperkasaan dan kearifan laki-laki/pemimpin, serta aturan atau norma hukum (adat) dimana seorang pemimpin ini bersifat tegas dan bijaksana.

  4. Pa’ Sussu’

    Pa’Sussu’ berarti garis/goresan. Ukiran ini memiliki motif yang berbentuk gari-garis lurus sejajar tanpa variasi serta warna, memang terkesan sederhana, namun memiliki arti serta makna yang sangat dalam bagi masyarakat Toraja itu sendiri.

    Makna dari ukiran ini adalah melambangkan bentuk kesatuan mayarakat yang demokratis dan kebijakan untuk penentuan dasar-dasar kebijakan dalam suku Toraja. Garonto’ Passura’ ini juga memiliki daya tarik lain yaitu, menggunakan 4 warna dasar utama, yaitu merah, putih, hitam dan kuning, dengan tambahan warna emas untuk ukiran tertentu. Seni ukir dalam suku Toraja sudah ada sejak nenek moyang Tana Toraja. Maka dari itu, ragam hias tradisional seperti ukiran digunakan sebagai sumber informasi tentang budaya masyarakat Toraja

Mangaluk Tomate

Orang Toraja sangat kaya dengan Adat istiadat dan budaya yang sangat mengagumkan seantero dunia, sehingga ada yang membuat suatu istilah "Jangan mati dulu sebelum menginjakkan kaki di Toraja". Sebagai orang Toraja haruslah berbangga dan senantiasa memelihara peradaban masa lalu yang diwariskan nenek moyang kepada generasinya.
Salah satu budaya toraja yang terkenal dan senantiasa menarik perhatian wisatawan, adalah “rambu solo’” yaitu adat istiadat upacara kematian dan penguburan.
Upacara yang berlatarbelakang kepercayaan politeis ini mengandung nilai budaya yang tinggi dan sangat bernilai bahkan begitu mengikat masyarakat Toraja. Untuk memahami mengenai rambu solo’ dalam keyakinan aluk todolo terlebih dulu perlu memahami hal-hal berikut :

  • Tempat Rambu Solo’ dalam Konfigurasi Budaya Toraja
  • Konsepsi Dasar Upacara Rambu Solo’
  • Tingkatan-tingkatan dalam Pelaksanaan Rambu Solo’
  • Simbol-simbol Upacara Rambu Solo’.
Mari kita telaah satu demi satu

TEMPAT RAMBU SOLO DALAM KONFIGURASI BUDAYA TORAJA

Mitos toraja, menceritakan pada mulanya langit dan bumi masih bersatu. Perkawinan langit dan bumi melahirkan Ketika langit dan bumi berpisah, lahirlah tiga dewa yaitu: Pong Tulak Padang, Pong Bangga-irante, dan Gaun Tikembong. Ketiga dewa ini dikenal sebagai Puang Titanan Tallu, Tirindu Batu Lalikan (Tri dewa). Mereka yang menciptakan matahari, bulan dan bintang.

Aluk sanda pituna (aluk 777777 [pitung riu, pitung lampa, pitung sa'bu, pitung ratu, pitung pulo, pitung lise', pitung piak) menjadi filsafat hidup orang Toraja. Dimana manusia Toraja memandang kehidupannya sebagai suatu siklus atau suatu lingkaran yang tidak dapat diulangi. Tujuan hidup ialah kembali ke asalnya setelah segala ritual dipenuhi. Aluk 777777 yang bermakna sempurna mencakup semua bidang kehidupan antara lain:

  • Aluk Simuane Tallang (ritual-religius berpasangan) yang terdiri dari:
    • Aluk Rambu Tuka’ (aluk rampe matallo), yaitu ritual-religius kesukaan.
    • Aluk Rambu Solo’ (aluk rampe matampu’) yaitu ritual-religius kedukaan
  • Aluk Talu Lolona yaitu: ritual religius yang berhubungan dengan tiga makhluk hidup:
    • Alukna Lolo Tau (yang menyangkut kehidupan manusia)
    • Alukna Lolo Tananan (yang menyangkut tanaman)
    • Alukna Lolo Patuoan (yang menyangkut hewan)
  • Aluk Rampanan Kapa (yang menyangkut perkawinan)
  • Aluk Banua (yang menyangkut bangunan rumah)
  • Aluk Padang (yang menyangkut tanah)
  • Alukna Uai (yang menyangkut air)
  • Aluk Tananan Pasa’ (yang menyangkut pasar).

Jadi seluruh tatanan kehidupan masyarakat Toraja diatur oleh aluk. Segala sesuatu didasarkan pada aluk, karena tanpa aluk kehidupan menjadi sia-sia. Yang melanggar aluk langsung mendapat hukuman dalam kehidupan ini. Hukuman ini hanya dapat dihapus dengan melakukan Massuru’ (penebusan dosa).

[Next | Sitarru'na]

sambungan mangaluk tomate1

  • SIMBOL-SIMBOL UPACARA RAMBU SOLO

  • Yang dimaksud dengan simbol-simbol Rambu Solo’ di sini adalah semua atribut yang digunakan dalam upacara tersebut. Karena atribut yang digunakan dalam atribut Rambu Solo’ banyak sekali dan tidak sama untuk semua wilayah adat di Toraja, maka hanya di angkat beberapa di antaranya yang di anggap penting. Hal-hal yang dimaksud adalah:

    • Tongkonan
      • Tongkonan adalah rumah adat dari satu rumpun keluarga (marga) dimana persekutuan darah daging dipelihara . Tongkonan adalah tempat pembinaan dan pemeliharaan aluk. Disamping itu Tongkonan juga berfungsi sebagai sumber wibawa kepemimpinan. Ia bermakna simbolik sebagai lembaga kekuasaan, kebesaran dan kemuliaan sang pendiri juga keturunan yang dibangun di atas keunggulan, prestise dan privilise tertentu. Setiap orang harus mengetahui dari tongkonan mana ia berasal, baik dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya.
        Oleh karena tongkonan mengikat seluruh keluarga, maka bila ada upacara yang dilaksanakan, baik Rambu Solo’ maupun Rambu Tuka’, maka upacara tersebut harus dilaksanakan di rumah tongkonan itu dan semua keluarga diharapkan hadir.

    • Pakaian
      • Dalam upacara rambu solo’ pakaian yang digunakan adalah pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam adalah simbol kekelaman atau kedukaan. Oleh karena itu dalam suatu upacara Rambu Solo’ keluarga dan semua orang yang datang ke tempat itu umumnya menggunakan kain berwarna hitam. Di samping itu digunakan juga pula pote yaitu tali dari benang berkepang yang ujungnya berumbai dan pada rumbai itu tercucuk manik-manik. Pote ini dipakai pada keluarga yang sedang marao’. Selain pakaian warna hitam, digunakan juga pakaian warna merah (lambang kemuliaan) untuk menghias pondok-pondok atau peti jenasah, khususnya pada upacara rambu kaum bangsawan menengah ke atas.

    • Ukiran dan Hiasan-hiasan
      • Pada upacara Rambu Solo’ tingkat rapasan, rumah, halaman dan pondok serta peti jenasah diberi ukiran dan hiasan-hiasan yang semuanya bermakna melambangkan kebesaran yang meninggal dunia. Hiasan-hiasan dan ukiran-ukiran yang digunakan dalam Rambu Solo’ dimaksudkan sebagai pengantar arwah untuk memasuki dunia seberang yaitu puya. Oleh karenea itu, kesemarakan suasana dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’ diyakini oleh penganut Aluk Todolo sebagai kesempurnaan si mati memasuki puya. Jadi jelas segala ukiran dan macam hiasan yang digunakan dalam upacara Rambu Solo’ mempunyai simbol “proyeksi” mesuknya sang arwah ke dunia seberang sana. Ukiran dan hiasan yang biasa digunakan pada upacara Rambu Solo’ pada bermacam-macam, namun di sini hanya akan dipaparkan beberapa di antaranya, yaitu:

        • Sarigan (palaidura) yaitu usungan mayat yang dibuat dari kayu.
        • Langi’-langi’ berbentuk rumah mini Toraja yang dipasangkan pada saringan (pelengkap saringan) dan bermakna sebagai simbol kebesaran.
        • Duba-duba (lamba-lamba) yaitu kain merah yang direntangkan panjang-panjang di atas kepala wanita ketika mayat sedang dalam arak-arakan dari rumah duka ke tempat pelaksanaan upacara (ma’pasonglo’/ma’palao)

        • Lakkean/Lakkian yaitu pondok yang dibuat ditengah-tengah tempat pelaksanaan upacara sebagai tempat mayat disemayamkan selama upacara berlansung. Pondok ini dibuat dengan ketinggian kurang lebih 10 meter dan dilengkapi dengan segala macam hiasan-hiasan/ ukiran yang melambangkann kebesaran.

        • Tombi yaitu kain berukir yang menyerupai panji-panji yang dipasang pada sekitar tempat pelaksanaan upacara.
        • Bala’kayan yaitu menara yang dibuat dekat dengan lakkean yang berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembagian daging dalam upacara Rambu Solo’

        • Simbuang yaitu batu yang berbentuk lonjong yang diarak dari tempat jauh, dan didirikan di sekitar tempat pelaksanaan upacara yang selain berfungsi sebagai batu peringatan bagi si mati sekaligus berfungsi sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikorbankan pada upacara itu.

        • Kandaure yaitu perhiasan dari manik-manik yang dicocok pada benang dan berbentuk corong, digunakan sebagai pelengkap kebesaran upacara Rambu Solo’ (juga dipergunakan dalam upacara Rambu Tuka’= pesta kesukaan).

        • Daman yaitu sejenis kertas emas yang dipakai menghias peti jenasah sebagai pengganti emas, khusus bagi bangsawan menengah ke atas.

        • Lantang (barung) yaitu pondok-pondok yang khusus dibuat untuk keperluan upacara Rambu Solo’. Apabila pondok itu jumlahnya banyak, maka tempat pelaksanaan upacara akan menyerupai perkampungan baru.

    • Kesenian
      • Dalam upacara Rambu Solo’, kesenian dan tari-tarian mempunyai arti yang dalam. Jenis kesenian dan tari-tarian yang mempunyai arti yang dalam, jenis kesenian dan tari-tarian yang dipentaskan dalam upacara Rambu Solo’, antara lain:

        • Badong yaitu nyanyian yang dilagukan dalam keadaan berdiri, yang disertai dengan gerakan tangan dan hentakkan kaki sambil berputar dalam kelompok yang membentuk lingkaran.

        • Retteng yaitu nyanyian kedukaan yang dilagukan secara berbalas-balasan oleh dua orang atau lebih

        • Dondi’ yaitu nyanyian yang dinyanyikan sekelompok orang secara berbalas-balasan

        • Marraka yaitu nyanyian kedukaan yang diiringi oleh seruling bambu

        • Randing yaitu sejenis tarian perang yang disertai dengan hentakkan kaki dan pekikan suara oleh para penari pria. Randing hanya dilakukan pada pemakaman seorang lelaki yang dianggap pahlawan

        Semua bentuk kesenian dan tari-tarian tersebut di atas dilakukan untuk mengekspresikan kedukaan yang mendalam karena kematian. Khususnya dalam badong, syairnya mengungkapkan sejarah perjalanan hidup bahkan pernghormatan terakhir pada yang meninggal dunia Menurut kepercayaan aluk todolo semua nyanyian dan tarian yang digelar dalam upacara Rambu Solo’, merupakan proyeksi kemuliaan dari yang meninggal dunia dlam memasuki dunia seberang sana.
        Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tarian dan nyanyian dalam upacara Rambu Solo’, selain merupkan ungkapan kedukaan dan penghormatan, juga merupakan “Simbol Kemuliaan” arwah seseorang memasuki dunia arwah.

    • Tau-Tau (patung)
      • Tau-tau (tau = orang) ialah patung atau arca yang berfungsi sebagai personifikasi dan seseorang yang meninggal dunia dan hanya diadakan dalam tingkat upacara Rambu Solo’ bagi golongan bangsawan menengah ke atas. Ada dua macam tau-tau atau arca yang dikenal yaitu tau-tau kayu dan tau-tau karurung
        Untuk membuat tau-tau dibutuhkan pemahat khusus yang dikenal dnegan istilah Topande. Selama proses pembuatan topande harus tidur dekat atau di bawah kolong rumah jenasah disemayamkan. Setelah selesai tau-tau tersebut didirikan di dekat peti jenasah. Ia diperlakukan seperti orang hidup (diberi nasi, pakaian dan perhiasan).
        Pakaian dan perhiasan yang dikenakan itu menunjukkan status sosial si mati. Oleh karena itu, dikatakan Tau-tau adalah The Living Dead yang karenanya harus dihormati, disembah dan diratapi. Ia lebih dari sekedar arca biasa hasil karya seorang pemahat. Ia adalah penjelmaan dari si mati yang selama upacara berfungsi sebagai penghubung antara ornag yang masih hidup dan kaum keluarga kerabat yan telah meninggal dunia, dengan kata lain ia berfungsi sebagai pembawa titipan dari orang yang masih hidup kepada mereka yang telah meninggal dunia. Jadi dalam Aluk Todolo, Tau-tau mempunyai nilai religius dan sosial.

    • Rante
      • Rante (lapangan) adalah tempat penyelenggaraan upacara Rambu Solo’, khusus bagi kalangan menengah dan ke atas pada tingkatan dirapa’i. Di tempat ini dibangun sejumlah pondok berantai yang berfungsi sebagai tempat penginapan selama upacara berlangsung.

    • Erong
      • Pada zaman dahulu dalam masyarakat Toraja setiap golongan bangsawan menengah ke atas yang meninggal dunia dibuat peti jenasah yang disebut erong. Bentuknya menyerupai perahu yang diukir. Sedangkan untuk orang-orang merdeka/biasa hanya dibungkus dengan kain yang berlapis-lapis dan berbentuk bulat lonjong. Dari sini jelas terlihat bahwa jenis peti jenasah menunjukkan status sosial seseorang dalam masyarakat Toraja.

    Hewan yang dikorbankan

    Pemotongan hewan pada setiap upacara Rambu Solo’ harus didasarkan pada stratifikasi sosial. Tentang hewan yang dikorbankan dapat dilihat dalam tiga hal:

    • Jenis hewan
      • Untuk golongan bangsawan, khususnya untuk tingkat upacara (rapasan sundun ke atas) jenis hewan yang dipotong harus lengkap, yaitu kerbau, babi, anjing, kuda atau manusia (hambanya). Jadi, dari semua jenis hewan peliharaan, kecuali ayam dan kucing

    • Jumlah
      • Tentang banyaknya hewan yang dikorbankan kiranya sudah jelas dalam uraian sebelumnya (dalam tingkatan Rambu Solo’)
    • Tanda-tanda
      • Dalam setiap upacara Rambu Solo’, hewan yang dikorbankan khususnya kerbau harus didasarkan pada tanda-tanda. Secara umum kerbau dalam masyarakat Toraja diklasifikasikan dalam empat kelompok (kelas) sesuai dengan stratifikasi sosial, yaitu:

        • Pudu/Balian
        • Saleko
        • Todi’
        • Sambao
        • Sokko
        • Pangloli
        • Pudu Bara’
        • Sambok Ra’tuk
        • Lotong Boko

    sambungan mangaluk tomate

  • KONSEP DASAR UPACARA RAMBU SOLO’
  • Dalam keyakinan Aluk Todolo hidup dipahami sebagai suatu siklus yang tidak dapat diulangi. Itu berarti bahwa orang Toraja percaya adanya kontinuitas kehidupan setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segalanya, tetapi ia berfungsi sebagai peralihan dari dunia nyata kepada dunia mistis.
    Filsafat ini dinyatakan dalam ungkapan pa’bongianri te lino, pa’gussali-salian lolo’ri kera’ pa’tondokan marendeng.

    Ungkapan ini mengandung arti bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan untuk sementara. Kehidupan abadi terletak di luar kenyataan alam ini. Meskipun hanya untuk sementara, namun kehidupan di dunia ini mempunyai fungsi bahkan merupakan bagian integral dalam perjalanan hidup. Pengertian kontinuitas lebih dominan dari pada perubahan kualitatif. Sebab kualitas hidup di sini akan dilanjutkan di sana. Penghayatan dan pengamalan kehidupan di sini tidak boleh dianggap kurang penting sebab justru kehidupan di sinilah yang memberi warna serta menentukan kehidupan di sana.

    Cara menghayati dan mengamalkan kehidupan di sini dengan segala ritualnya bahkan hidup itu sendiri adalah ritual, sangat menentukan kebahagiaan di sini dan akan berlanjut di sana. Salah satu upacara yang paling penting untuk maksud tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Ritus-ritus di sekitar upacara Rambu Solo’ bersumber dari falsafah Aluk Todolo bahwa tujuan akhir dari lingkaran kehidupan ialah tempat darimana kehidupan itu dimulai yaitu dari alam mistis transenden. Hal ini dapat terwujud jika semua ritus-ritus yang menjadi syaratnya terpenuhi (sundun). Salah satu wadah mewujudkan ritus tersebut adalah upacara Rambu Solo’. Kalau semua ritus itu lengkap maka arwah orang mati akan membali puang yang selanjutnya akan selalu mengawasi dan memberkati keluarga yang masih hidup. Sebaliknya kalau upacara tidak lengkap ia tidak akan membali Puang, sehingga arwahnya selalu gentayangan, mengganggu dan mengutuki keluarga.

    Pemahaman tersebut di atas, dapat dimengerti kalau upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang amat menonjol. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, pada satu pihak ada kebenarannya – apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi – namun pada sisi lain dapat disimpulkan bahwa orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius. Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di sini dan sebaliknya. Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des – saya memberi agar engkau memberi – artinya dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah kita memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.

  • TINGKATAN-TINGKATAN DALAM PELAKSANAAN RAMBU SOLO’
  • Dalam keyakinan Aluk Todolo orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum diupacarakan masih dikategorikan tomakula’ (makula’= panas). Ia tetap dilayani oleh keluarganya sebagai mana layaknya melayani orang yang masih hidup. Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk) yang punya konsekuensi, sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dibagi ke dalam empat kelompok:

    • Tana’ Bulaan
    • Tana’ Bassi
    • Tana Karurung
    • Tana’ Kua-kua
    Dengan patokan kasta tersebut maka upacara Rambu Solo’ juga dikenal dalam empat tingkatan, yaitu:
  • Tingkat untuk golongan hamba atau budak (tana’ kua-kua):
    • Dipasilamun Tallo’
    • Didedekan Palungan/dikambuturan Padang. Prosesi penguburannya disembayang dan kemudian dikuburkan tanpa memotong babi
    • Disilli’

      yaitu upacara penguburan yang paling sederhana ini berlaku bagi orang miskin yang mana dahulu mereka hanya membekali mayat dengan telur ayam saja, tetapi saat ini mereka telah menguburkan keluarga mereka dengan memotong seekor babi

    • Dibai Tungga’. Dibai tungga artinya hanya dipotongkan babi satu ekor
    • Dibai A’pa. Dibai a'pa' artinya hanya dipotongkan empat babi
  • Tingkat untuk golongan orang merdeka (tana’ karurung)
    • Diisi (diberi gigi)
    • Dipasangbongi

      yaitu upacara penguburan orang yang telah meninggal hanya satu malam acaranya dilakukan dirumah dan hanya seekor kerbau yang dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini untuk orang tua dari golongan rendah dan menengah yang kurang mampu ekonominya.

    • Ma’tangke Patomali. Matangke patomali berarti seimbang atau dipotongkan dua ekor kerbau dan beberapa ekor babi
    • Dipatallungbongi

      yaitu upacara penguburan orang yang telah meninggal hanya satu malam acaranya dilakukan dirumah dan hanya seekor kerbau yang dipotong dan beberapa ekor babi. Upacara ini untuk orang tua dari golongan rendah dan menengah yang kurang mampu ekonominya.

  • Tingkat untuk golongan bangsawan menengah (tana’ bassi)
    • Untuk tingkatan ini, upacaranya dikenal dengan istilah dibatang. Untuk tingkatan ini masih ada dua kategori, yaitu:
    • Dipalimang bongi (lima malam) yaitu upacara yang berlangsung lima malam.

      Jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 5-7 ekor dan minimal 18 ekor babi. hari ketiga keluarga kedatangan tamu dengan membawa kerbau, babi dan ubi-ubian. Pada upacara ini dibuatlah patung orang yang telah meninggal dan terbuat dari bambu yang disebut Tau Tau Lampa. Dan Tau tau ini dihiasi dengan pakaian adat tetapi pada waktu penguburan pakaian dan perhiasan diambil kembali. Tidak semua perkampungan mengadakan upacara penguburan sejenis dengan ini yang mana upacara ini adalah upacara penguburan yang paling tinggi di tempat tersebut. Malam terakhir diadakan acara Ma'Parando yaitu semua cucu almarhum yang hadir diarak pada malam hari duduk di bahu laki-laki dengan perhiasan lengkap seperti pakaian penari yang terdiri dari emas gayang, Kandaure, mereka di bawa mengelilingi rumah sebanyak tiga kali dengan membawa obor. Disertai teriakan senda gurau penonton. Selain selama lima malam acara Ma'badong terus berlangsung.

    • Dipapitung bongi (tujuh malam).

      Untuk kategori ini jumlah kerbau yang dipersembahkan antara 7-9 ekor dan minimal 22 ekor babi. Di daerah Tallu Lembangna (Makale, Mengkendek, Sangalla’) masih dikenal tingkatan yang disebut: dipapitung lompo (lompo=gemuk) dimana kerbau yang dipersembahkan 18 ekor dan babi minimal 32 ekor setiap hari dan malam ada pemotongan hewan kerbau dan babi, bagi keluarga dekat pantang makan nasi selama acara berlangsung. Pada saat tamu datang pemotongan kerbau dan babi sembilan sampai duah puluh ekor. Kepala kerbau diperuntukkan bagi rumah tongkonan dan daging kerbau diberikan kepada tamu.

  • Untuk Upacara Dirapai’ (Tana' Bulaan) masih dibagi dalam 3 tingkatan utama :

      Upacara penguburan orang mati yang paling mahal ialah mangrapai karena dua kali diupacarakan sebelum dikubur. Upacara pertama diadakan di rumah tongkonan dan kemudian diistirahatkan satu tahun, baru upacara kedua diadakan. Upacara pertama dalam bahasa daerah disebut dialuk pia. Pada upacara kedua, orang mati diarak dengan pikulan ratusan orang dari rumah tongkonan ke rante (tempat upacara kedua). Upacara ini disebut ma’paolo/ma’pasonglo’. Orang mati dibungkus kain merah dilapisi emas, diikuti oleh tau-tau dan janda almarhum dalam usungan yang dihiasai emas serta diiringi oleh puluhan ekor kerbau jantan yang berhias yang siap untuk diadu satu lawan satu. Setelah tiba di rante, mayat dinaikkan ke satu rumah tinggi khusus tempat orang mati itu dimanakan lakkian. Acara – acara lain menyusul, seperti acara adu kerbau, acara sisemba, dan acara tari – tarian.

    • Dilayu-layu, yaitu upacara rambu solo' tingkat tinggi dengan minimal dua belas ekor kerbau dipotong
    • Rapasan Sundun/Rapasan Barata, yaitu Upacara rambu solo' tingkat tinggi dengan minimum 24 ekor kerbau yang dipotong.
    • Rapasan di baba gandang, yaitu upacara rambu solo' tingkat tinggi dengan jumlah kerbau yang dipotong paling rendah 30 ekor.

    • Ketiga tipe rapasan ini memotong babi ratusan ekor dan puluhan kerbau belang yang mahal harganya. Pada rapasan sapurandanan, kerbau yang dipotong terdiri dari semua warna bulu kecuali warna kerbau putih (tedong bulan) atau dengan kata lain semua jenis kerbau harus di penuhi.

    Dari gambaran secara singkat tentang tingkatan upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja, kita dapat memahami bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’ yang mesti dilakukan atas perintah aluk. [Next | Sitarru'na]

    Ma'bugi'

    Ada banyak adat-istiadat budaya Toraja yang dahulu kala dibangun oleh nenek moyang orang toraja sebagai warisan yang unik bagi anak-cucunya hanya saja mungkin sudah banyak generasi muda Toraja yang tidak tahu dan bahkan tidak pernah mendengar akan peradaban nenek moyang masa lalu.

    Salah satu tradisi yang dibangun oleh nenek Moyang Toraja pada zaman dahulu (sekitar tahun 1600-an) adalah tradisi/acara Ma'bugi

    Ma'bugi berasal dari kata bugi' Ma'bugi' dilaksanakan oleh masyarakata pada jaman dahulu sebagai semangat tanda suka cita atas hasil panen dan juga suka cita bagi seluruh masyarakat Toraja atas keberhasilan melawan invasi Bugis/Arung Palakka ke Tana Toraja dan mengusirnya sampai pada tapal batas Tana Toraja yaitu Bamba Puang.

    Tradisi ma'bugi' juga disimbolkan sebagai tradisi menolak bala, baik terhadap penyakit ataupun gangguan lainya yang akan mengganggu keamanan di Tana Toraja.

    Tradisi ma'bugi' bermula sejak selesainya/berhasilnya perang To Pada Tindo To Misa' Pangimpi (nama persatuan angkatan perang Toraja dalam melawan invasi Bugis/Bone/Arung Palakka)
    Tradisi ma'bugi' biasanya dilaksanakan setiap selesai panen tanda suka-cita

    Tradisi ma'bugi' juga memberikan pesan kepada generasi berikutnya bahwa dengan semangat persatuan maka kita akan menggapai kemaslahatan bersama, nanggi' ammu male baluk tondokmu (jangan menjual daerahmu), berbanggalah senantiasa sebagai orang Toraja, lihatlah nenek Moyang mu berhasil mengusir para penjajah (palutu tombang) dari Tondok Napilei Langsa Nenek Todolota belanna misa' penaa sia misa' pangimpi (bersatu padu dan satu harapa harapan/mimpi) yamotu la tuo manaman lan tondok lepongan bulan lili'na matari allo (yaitu harapan hidup aman dan damai ditanah kelahiran).

    Dewasa ini acara ma'bugi' sudah sangat langkah ditemui keuali pada saat pentas adat dan budaya, mungkin oleh karena pergeseran paradigma/zaman.

    Harapan kita sebagai generasi muda orang Toraja, semoga tradisi/budaya luhur nenek moyang ini tetap lestari untuk selamanya. Hal ini bisa terealisasi bilamana generasi muda Toraja senantiasa memelihara dengan cara mempelajari akan setiap warisan peradaban nenek moyang masa lalu, yang salah satunya adalah tradisi ma' bugi' ini.

    Sejarah Awal Terbentuknya Kabupaten Tana Toraja

    Berikut sejarah singkat terbentuknya kabupaten Dati II Tana Toraja :

    Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao dibawah Self Bestur Luwu oleh pengaturan Belanda

    Pada tanggal 18 Oktober 1946 dengan besluit LTGG tanggal 8 Oktober 1946 Nomor 5 (Stbld Nomor 105) Onder Afdeeling Makale-Rantepao dipisahkan dari swapraja yang berdiri sendiri dibawah satu pemerintahan yang disebut Tongkonan Ada'

    Adapun susunan Dewan Tongkonan Ada' adalah sebagai berikut:
      Ketua     : Puang Andrial Duma' Andilolo
      Anggota :
        • Puang Laso' Rinding dari Sangalla'
        • Puang Laso' Torantu dari Mengkende
        • Ma'dika Bombing dari Buakayu
        • Ma'dika Tandirerung dari Ulusalu
        • Siambe' H Saba' dari Madandan
        • Siambe' Tangdirerung dari Kesu'
        • Siambe' Salurapa' dari Nanggala
        • Siambe' Kombong Langi' dari Tikala
        • Siambe' Sarungngu dari Pangala'

    Pada saat Pemerintahan Indonesia berbentuk Repoblik Indonesia Serikat (RIS), sistem Pemerintahan Tongkonan Ada' diganti dengan suatu sistem pemerintahan darurat yang beranggotakan 7 (tujuh) orang yang dibantu oleh suatu badan yaitu Komite Nasional Indonesi (KNI) yang beranggotakan 15 (lima belas) orang.
    Sistem pemerintahan ini disahkan berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan nomor 482 pada tangga 21 Februari.

    Pada tahun 1957 Toraja menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan UU Darurat Nomor 3 tahun 1957 dan berdasarkan UU N0.29/1959.

    Berdasarkan Undang-Undang Darurat nomor 3 tahun 1957 dibentuk Kabupaten Daerah Tingkat II Tana Toraja, dimana peresmiannya dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 1957 dengan Kepala Daerah yang pertama bernama Lakitta

    Bupati Tana Toraja berikutnya adalah H. L. Lethe pada tahun 1961 berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan nomor 2067.
    Administrasi pemerintahan berubah dengan penghapusan sistem Distrik dan pembentukan Pemerintahan Kecamatan. Tana Toraja pada saat itu terdiri atas 15 (lima belas) distrik dengan 410 (empat ratus sepuluh) kampung, berubah menjadi 9 (sembilan) Kecamatan dengan 135 Kampung.

    Kemudian berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan nomor 450/XII 1965 tanggal 20 Desember 1965 dibentuk sistem Pemerintahan Desa.

    Kerajaan Mandar

    Mandar atau sekarang masuk dalam wilayah Sulawesi Barat, pada jaman dahulu memiliki kerajaan yang mereka beri nama Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba'bana Binanga (Tujuh Kerajaan di Hulu Sungai dan Tujuh Kerajaan Di Muara Sungai).


    Kerajaan-kerajaan yang termasuk didalam Pitu Ulunna Salu meliputi :

    • Kerajaan Balanipa
    • Kerajaan Binuang
    • Kerajaan Sendana
    • Kerajaan Banggae
    • Kerajaan Pamboang
    • Kerajaan Mamuju
    • Kerajaan Tappalang
    Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam Pitu Ba'bana Minanga meliputi:
    • Kerajaan Tabulahan
    • Kerajaan Aralle
    • Kerajaan Mambi
    • Kerajaan Bambang
    • Kerajaan Rantebulahan
    • Kerajaan Matangnga
    • Kerajaan Tabang

    Masing-masing kerajaan menyandang gelar kebangsawanan berbeda untuk raja dalam menjalankan roda pemerintahannya, misalnya :

    • Raja Balanipa dan Raja Sendana bergelar Arayang
    • Raja Banggae dan Raja Pamboang bergelar Mara'dia
    • Raja Tappalang dan Raja Mamuju bergelar Maradika
    • Raja Binuang bergelar Arung
    • Raja Rantebulahan, Raja Matangnga, Raja Tabang dan Raja Bambang, bergelar Indo Lembang
    • Raja Aralle bergelar Indo Kadanene'
    • Raja Tabulahan bergelar Indo Lita'

    Kerajaan-kerajaan di Wilayah Mandar bukan hanya Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babana Binanga, tetapi masih ada daerah kerajaan yang tidak bergabung pada kedua wilayah tersebut (wilayah netral), kerajaan tersebut dinamakan Tiparittikna Uhai atau sering juga disebut Karua Babana Minanga (KBM), misalnya :

    • Kerajaan Alu
    • Kerajaan Tuqbi
    • Kerajaan Taraqmanu
    • dan masih ada beberapa kerajaan lainnya

    Semua kerajaan-kerajaan di Mandar ini saling menghormati pada bagian wilayah masing-masing dan saling membantu seakan-akan mereka sebenarnya satu wilayah layaknya satu negara kesatuan, makanya beberapa ahli sejarah Mandar berpendapat bahwa kerajaan di Mandar tidak berbentuk kerajaan layaknya kerajaan lain yang memerintah dan berdaulat di daerah sendiri tapi melainkan Satu Kesatuan Wilayah yang saling menghormati.

    Tongkonan Kalimbuang

    Pong Tiku dan Benteng Pertahanan

    Pong Tiku sebagai penguasa Pangala', menumbuhkembangkan perekonomian masyarakat Tana Toraja dengan mengembangkan tanaman kopi.

    Sebagai penghormatan/mengenang kepada Pong Tiku sebagai salah satu Pahlawan nasional Indonesia maka dikota Makassar ada satu nama jalan di Kota yang diberi nama Jalan Pong Tiku yang terletak di Kecamatan Tallo.
    Sedangkan di Toraja nama jalan penghubung Kota Rantepao dan Kota Makale diberi nama Jalan Pong Tiku, sebuah Bandar Udara dan sebuah Rumah Sakit di beri nama Pong Tiku

    Pong Tiku dilahirkan pada tahun 1856 di Tondon Negeri Pangala' Kecamatan Rinding Allo, Kabupaten Toraja Utara dari pasangan Siambe’ Karaeng dan Lai' Le’bok.

    Pong Tiku adalah pahlawan nasional Indonesia yang telah berjuang mempertahankan tanah kelahirannya dari Penjajah Belanda pada tahun 1905 – 1907.
    Sejak dinobatkan menjadi penguasa Pangala' sekitar Tahun 1881, pria yang juga dikenal sebagai Ne’Baso ini membenahi perekonomian rakyatnya dengan mengembangkan tanaman kopi.

    Tanaman kopi mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa itu dan menyebabkan terjadinya perebutan perdagangan kopi. Namun, Pong Tiku selalu bertindak bijaksana sehingga beliau selalu meraih kemenangan. Selanjutnya pada tahun 1898, ia terlibat dalam "Perang Kopi". Dinamakan perang kopi karena Toraja sebagai penghasil kopi yang bermutu tinggi menjadi rebutan para penguasa daerah di sekitarnya. Dalam peperangan itu, Pong Tiku berhadapan dengan pasukan Bone. Namun pada akhirnya peperangan antara Pangala' dan Bone dapat diselesaikan dengan damai.

    Kemajuan perekonomian masyarakat Toraja terutama komoditi kopi, menyebabkan daerah ini menjadi salah satu incaran pemerintah Hindia Belanda untuk dikuasai. Oleh karena itu mendengar desas desus itu Pong Tiku mulai menyusun strategi perang berkaca dari pengalamannya ketika terlibat dalam Perang Kopi, Pong Tiku kemudian mulai menyadari bahwa ia harus memperkuat pertahanan daerahnya. Ia memanfaatkan kopi sebagai alat barter untuk memperoleh senjata. Benteng-benteng pun mulai dibangunnya di tempat yang dianggapnya strategis, yakni di atas bukit-bukit karang yang terjal sehingga sulit dicapai oleh pihak lawan. Salah satu benteng yang kuat itu bernama benteng Buntubatu. Selain memperkuat pertahanan daerahnya dengan memperbanyak persenjataan dan membangun benteng, ia juga menjalin persahabatan dengan para penguasa lain di Toraja.

    Mula-mula Belanda menginvasi Luwu kemudian setelah Belanda menguasai Luwu, pihaknya ingin menguasai Tana Toraja. Mendengar niat tersebut, Pong Tiku mengeluarkan pernyataan di hadapan rakyatnya, “Noka lette’ku noka ulangku naparinta Balanda (kaki dan kepalaku tidak mau diperintah Belanda).

    Dengan ketidak-mauannya diperinta oleh Belanda maka pada tahun 1905, Pong Tiku menyiapkan pasukannya untuk melawan Belanda. Bersama pasukannya, Pong Tiku membangun tujuh (7) buah benteng pertahanan.

    Tiga benteng pertahanan di Bagian Barat Tana Toraja, yaitu :
    • Benteng Lalik Londong
    • Benteng Buntubatu
    • Benteng Rinding Allo
    Empat benteng pertahanan di bagian timur Toraja yaitu:
    • Benteng Buntu Asu
    • Benteng Tondok
    • Benteng Kaddo
    • Benteng Mamullu

    Persiapan yang telah dilakukan itu memang sangat berguna di kemudian hari ketika harus menghadapi gempuran Belanda. Seperti pada saat Belanda melancarkan ekspedisi militer guna menaklukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau mengakui kekuasaan mereka.

    Ekspedisi militer tersebut terjadi pada tahun 1905. Saat itu sejumlah kerajaan berhasil ditaklukkan, seperti Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa. Masih di tahun yang sama di bulan September, menyusul Datu Luwu yang terpaksa mengakui kekuasaan Belanda. Kemudian komandan militer Belanda di Palopo, yang merupakan ibu kota Luwu mengirim surat kepada Pong Tiku yang meminta agar Pong Tiku melaporkan diri di Rantepao dan menyerahkan semua senjatanya kepada Belanda.

    Karena tekad Pong Tiku sudah bulat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi rakyatnya, tentu saja permintaan tersebut ditolaknya. Akibat penolakan itu, pecahlah perang antara Belanda dan Pong Tiku. Pada tanggal 12 Mei 1906, Belanda mulai melancarkan serangan pertamanya ke Pangala', namun serangan itu gagal.
    Masih di tahun yang sama, tepatnya di awal Juni 1906, kegagalan kembali diterima Belanda ketika melakukan penyerangan terhadap benteng Buntuasu.
    Dua kegagalan itu membuat Belanda menambah jumlah pasukan dan persenjataannya. Blokade pun dilakukan untuk mencegah masuknya logistik terutama air ke dalam benteng-benteng Pong Tiku.

    Untuk menahan serangan Belanda, kondisi alam di daerah Toraja yang berbukit-bukit pun ikut dimanfaatkan pasukan Pong Tiku. Batu-batu berukuran besar digelindingkan bila pasukan Belanda berusaha memanjat bukit-bukit karang menuju benteng.
    Air cabai-pun digunakan untuk menghalau pasukan Belanda yang berhasil mendekati dinding benteng. Akan tetapi, Belanda yang berbekal peralatan perang yang jauh lebih lengkap menyebabkan peperangan tak seimbang.
    Pasukan Pong Tiku pun lebih banyak menderita kerugian, gempuran meriam yang secara bertubi-tubi merusak bangunan benteng.

    Pong Tiku pun terpaksa mengosongkan beberapa benteng. Akan tetapi, benteng Buntubatu yang merupakan benteng utama sekaligus markas Pong Tiku belum berhasil dikuasai Belanda sampai bulan Oktober 1906.
    Belanda kemudian menawarkan perdamaian kepada Pong Tiku. Namun tawaran itu ditolaknya dan ia hanya bersedia mengadakan gencatan senjata.
    Hal itu bertujuan agar ia dapat menghadiri upacara pemakaman jenazah orang tuanya secara adat. Oleh karena itu, ia pun meninggalkan benteng Buntubatu.
    Kesempatan itu langsung digunakan pihak Belanda untuk memasuki benteng tersebut meski pun masa gencatan senjata belum berakhir.

    Seusai menghadiri pemakaman jenazah orang tuanya, Pong Tiku kemudian menuju benteng Alla. Di sana telah berkumpul para pejuang dari berbagai daerah Sulawesi Selatan.

    Benteng Alla pun diserang Belanda pada tanggal 12 Maret 1907. Akibat serangan itu puluhan pejuang gugur dan ditawan. Namun, Pong Tiku berhasil menyelamatkan diri.
    Dalam pelariannya dari satu tempat ke tempat lain, ia terus berusaha mengobarkan semangat perjuangan melawan Belanda.

    Pada tanggal 26 Juni 1907, pasukan Pong Tiku mengalami kekalahan dari segi peralatan militer Belanda sehingga harus mundur. Hampir semua benteng pertahanan yang dibangun Pong Tiku dihancurkan oleh Belanda.
    Belanda masih terus melakukan pengejaran hingga akhirnya ia berhasil ditangkap di Lalikan pada awal bulan Juli 1907. Setelah berhasil ditangkap, ia kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui kekuasaan Belanda. Namun, meskipun berada dalam tekanan, Pong Tiku tetap menolak menandatangani surat tersebut.
    Karena terus-menerus melawan dan menolak bekerjasama, Pong Tiku pun ditembak mati Belanda di tepi Sungai Sa'dan. Pong Tiku diberi hukuman mati oleh Belanda. Di tepi Sungai Sa'dan, tepatnya di sisi Bukit Singki'. Juli 1907. Pong Tiku pun berdiri tegak menghadapi regu tembak pasukan Belanda. Sungguh ia menyambut kematiannya sebagai seorang ksatria sejati

    Kematian Pong Tiku sekaligus menandai berakhirnya perlawanan terhadap Belanda di Toraja. Toraja merupakan daerah terakhir di Sulawesi Selatan yang jatuh ke tangan Belanda.

    Semoga semangat perjuangan Pahlawan Pong Tiku senantiasa menjiwai setiap pemuda-pemudi masyarakat Toraja sehingga menjadi generasi muda yang tangguh, ulet, dan pantang menyerah serta menjauhkan diri dari pengkhianatan Tondok Lepongan Bulan. Semoga dengan semangat perjuangan Pong Tiku masyarakat Toraja Umumnya dan Pemuda-Pemudi khususnya berani berdiri tegak menolak ketidak adilan dan ketidak benaran.

    Atas jasa-jasanya kepada negara, Pong Tiku alias Ne'baso dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 73/TK/Tahun 2002, tanggal 6 November 2002.

    Terima kasih Pahlawan Pong Tiku (Ne' Baso'), Engkau telah mengajarkan kami bagaimana menjaga harga diri

    Nokana' tu lana parenta mata mabusa, mengkailingna' tu lana tiro sokko to ma'mata laen
    Pissan raki' didadian tang penduanki' la ullolangngi te daenan
    Tondokku aku, daenan makaraengku, tondok kuni ditibussanan
    Deito angku mate di pasilamun lolo ku, de'ito angku sikalamma litak garaganku
    Na Puang Matua mora untanda sa'bi katonganan anna po dandanan sangka'i mimik kandaurena lamunan loloku


    Saya tidak mau diperintah oleh Belanda, saya tidak sudi dipandang rendah oleh biji mata warna lain
    Kita hanya satu kali dilahirkan dan hanya satu kali hidup dalam dunia ini
    Inilah negeriku, tanah air kemuliaanku, negeri dimana aku dilahirkan
    biarlah aku di tanam bersama ari-ariku, biarlah aku kembali ketanah sebagai asalku
    biarlah Tuhan Yang Maha Benar menjadi saksi kebenaranku dan semoga menjadi tanda warisan kebesaran bagi anak cucuku



    Tongkonan Tokeran Gandang/Batu Rongkok

    Tongkonan Palakuan Pare Deri

    Syair Membangunkan Mayat Di Toraja

    Ma’nene’ atau mangika'(daerah BODEPA/Bori', Deri, Parinding) ialah upacara di sekitar kubur, dengan membersihkan liang kubur, memberikan persembahan kepada arwah leluhur, mengganti pakaian baru bagi jenazah apabila bungkusnya sudah tua, dan mengganti pakaian tau-tau yang sudah lapuk. Upacara ini dilaksnakan sesudah panen.
    Di beberapa daerah ritus itu merupakan kelengkapan dari ARS (Aluk Rambu Solo’) dan dilaksanakan sesudah panen berikutnya sesudah pemakaman. Sementara itu di beberapa daerah lainnya ritus ini tidak rutin artinya acara ini dilaksanakan menurut kesempatan entah setahun berikutnya atau beberapa tahun kemudian. Untuk beberapa daerah lainnya kesempatan ini dipergunakan untuk menyusulkan atau menambah korban persembahan bagi mereka yang telah dikubur. Di Pantilang upacara ini disebut “Ma’To’longgi”, atau “Ma’pundu”, Di Baruppu’ disebut “Ma’Nene”, Di Sa’dan disebut “Ma’Palin”.Berikut adalah Syair untuk mengundang arwah, yang diucapkan atau di lantunkan oleh Tominaa:

      Iate to mamma’ lan batu dilobang
      To matindo lan kumila’ kalle-kallean
      La kutundanpakomi susi to mamma’
      La kuruyangpakomi ten to matindo
      Kamumo te la kisassan kapuran pangan
      Kamumo te la kiserekan passambako-bakoan
      Anna bo’bo’ ditoding kuni’
      Anna rido ditanda mariri’
      Sia ma’bayu ka’pun
      Bonde tang ketanda-tanda
      Dadi limbongmokomi indete rampe matampu’
      Tasikmokomi inde kabotoan kulla’
      Ammi arru’i te pa’dunna bai
      Ammi papassudi te tanda I’lanna to massali tallang
      Anna mammi’ mipatobang di kollong do likaran biang
      Anna marasa miparonno’ di baroko do sellukan tille
      Kukua mangkamokomi ditandan allu’ lan kapuran pangan
      Upu’mokomi ditandan pepasan lan pelamberan baulu
      Tae’mokomi la salian rinding
      Tang deganmokomi la leko’na minangan banua
      Dadi la kumandemokomi massola nasang
      Anggemmi tokiporara rarana
      La tumimbu’na tokipolamba’ makaise’na
      Angki kandei ra’dak barokomi te kami lolo kandauremi
      Kipopamuntu tang ti’pekki massola nasang.
    Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
      Hai Engkai yang tidur dalam liang batu
      Yang bersemayam dibalik tubir batu yang mengagumkan
      Akan kubangunkan engkau layaknya orang tidur
      Akan kuguncang engkau seperti yang lelap
      Bagimulah kami menyiapkan sirih dan pinang
      Untukmulah tembakau disajikan
      Dan nasi bertanda kunyit
      Dan rejeki berwarna kuning
      Dan babi berbaju polos
      Babi tak punya bintik
      Berkumpullah engkau sebanyak-banyaknya di sebelah barat
      Berhimpunlah tanpa batas di ufuk matahari terbenam
      Hendaklah engkau menyantap empedu babi ini
      Runcingkanlah bahagian dalamnya
      Untuk mereka yang mencari kedamaian
      Supaya lesat dijatuhkan ke leher di atas tempat persembahan dari gelagah
      Supaya sedap melewati kerongkongan di atas anyaman pimping berisi persembahan
      Seperti yang kukatakan bagimu, waktu telah kutetapkan
      Untuk menerima persembahan kapur sirih
      Telah menerima ketentuan saat meneriman lembaran daun sirih
      Tak ada lagi kalian yang berada di luar dinding
      Tak ada lagi dibalik birai-birai rumah
      Jadi hendaklah engkau semuanya makan
      Sekalian menglirkan darahnya kepada kami
      Kalian yang darahnya mengalir dalam tubuh kami, santaplah
      Supaya kami anak cucumu makan yang sisa
      Supaya beranak cucu layaknya rumpun bambu
      Merambak bagaikan rumpun aur.

    Bagi masyarakat Baruppu’ upacara ma’nene’ merupakan upacara tahunan yang dilaksanakan sesudah panen. Ia merupakan upacara massal bagi seluruh keluarga Baruppu baik yang tinggal di kampung maupun yang berada di luar daerah. Oleh karena itu kesempatan ini dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk mengadakan reuni keluarga, reuni masyarakat Baruppu’ terutama bagi perantau. Karena ma’nene’ adalah penghormatan bagi seluruh arwah yang jenazahnya berada di dalam liang batu di Baruppu’ sehingga upacara ini meliputi seluruh orang Baruppu’. Ketika diadakan pemakaman dulu, mungkin banyak keluarga yang tidak sempat hadir karena berada di luar daerah, maka pada kesempatan inilah mereka luangkan waktunya untuk menyatakan dukacitanya. Jenazah di baruppu’ tidak boleh disimpan lebih dari 5 malam untuk menunggu keluarga jauh. Pada upaca ma’nene’ itulah kesempatan para perantau atau keluarga untuk pulang kampung mengadakan reuni.

    Bagi janda/duda baru (yang baru satu tahun dikuburkan) pada kesempatan inilah dilaksanakan aluk perpisahan dengan almarhum suami atau istrinya, artinya dalam satu tahun terakhir itu, mereka (suami/istri) masih merasa bersama-sama, walaupun dalam dunia nyata tidak seperti itu. Sebelum jenazah suami atau istri dimasukkan kembali ke dalam liang kubur, Tominaa mengucapkan ritus perpisahan antara almarhum dengan janda atau dudanya sebagai berikut :

      La diannamoko tama batu dilobang
      La sangtongkonanmoko topada tindo
      Mintu’ nene’ tepo a’pa, tepo karua, daluk sangpula anna
      La mendapo’moko napatudu lalan tepo a’pa’mu
      Mupatudu lalanni te balimmu anna mendapo’
      Manassamoko piak lindo masakke
      La situlak-tulakmoko keallo kebongi
      La mupatudu lalan lumbang rokko padang
      La pakandean manuk la dedekan palungan
      La rendenan tedong nang la iko napassarei
      La mupatudu lalan tang sipaboringan kada
      Dipapada lando dipasiboko’ rinding dipasisa’de minanga
      La muoli’ lan patudu lalan
      Kiolo dukako kerokkoan padang
      Na kendek buranna padang
      Na lambi’oi dipatamako kapuran pangan
      Ma’pamasakke ma’pakianak
      Ammu kianak sola nene’ todolomu
      Angki kianak ma'kepak patomali

    Para Sahabat Pong Tiku Yang Diasingkan

    Pong Tiku sudah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional. Beliau merupakan satu-satunya Pahlawan Nasional asal Tana Toraja. Namun dibalik perjuangan Pong Tiku melawan penjajah Belanda, ada Tokoh-Tokoh lain, lebih tepatnya para sahabat yang ikut berjuang bersamanya namun seolah dilupakan publik Toraja.

    Setelah kematian Pong Tiku pada tanggal 10 Juli 1907 para sahabatnya tetap bersemangat untuk melanjutkan perjuangan dengan cara bergerilya atau melakukan pergerakan bawa tanah.

    Kondisi psikologis dan sosial ketika itu memicu semangat para tokoh adat dan penguasa wilayah untuk melakukan perlawanan. Mereka terikat dalam wadah yang diberi nama sandi “UNTENDANNI SALU SA’DAN” yang artinya melawan arus (penjajah). Spektrumnya diperluas tidak hanya sebatas wilayah utara tetapi sampai ke selatan (para puang dari Tallulembangna) dengan Pong Simpin dari timur (Pantilang) dan Bombing dan Ua’ Saruran dari barat (Bongakaradeng). Target mereka adalah menculik atau membunuh Tuan Brouwer, Controleur yang memegang tampuk kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda di Toraja ketika itu. Brouwer adalah tokoh di balik pembunuhan Pong Tiku serta pihak yang memaksa masyarakat Toraja membayar pajak (sima ulu), kerja rodi, serta merampas tanah ulayat sawah ladang untuk membuka akses jalan dan ditempati membangun fasilitas Pemerintahan Kolonial lainnya.

    Makin lama beban dan penderitaan masyarakat Toraja makin berat. Banyak warga yang meninggal karena kelaparan dan kelelahan karena dipaksa bekerja membuka akses jalan ke Palopo, banyak yang dihukum dan diangkut dengan paksa ke Pinrang untuk membangun bendungan karena tidak mampu membayar pajak. Adat dan budaya juga mulai dikekang karena dianggap bertentangan dengan ajaran kristiani yang mulai diintensifkan sejak A.A. van de Loosdrecht datang ke Toraja sebagai utusan Zending dari negeri Belanda.

    Kesemuanya ini memaksa para pejuang menetapkan strategi untuk secepatnya menghadang dan membunuh Brouwer. Pada pertengahan tahun 1907 mereka memilih dan menentukan posisi disekitar jalan yang sering dilewati Brouwer (antara rumah jabatan komandan KODIM sampai sekitar pusat pertokoan sesuai lokasi sekarang) untuk mengintai dan menghadang Brouwer.

    Setelah beberapa kali penghadangan gagal para pejuang kembali ke tempat asal masing – masing untuk mempersiapkan senjata dan perbekalan. Pada saat yang sama ketika itu tanggal 27 Juli 1917 A.A. van de Loosdrecht berkunjung ke Bori’ untuk melihat pembangunan gedung sekolah. Meskipun banyak yang tidak setuju karena bukan target yang ditentukan ada beberapa orang yang sudah tidak sabar untuk segera membunuh orang Belanda (mata ma’busa) akhirnya A.A. van de Loosdrecht terbunuh lewat tombak yang ditancapkan di dadanya oleh Buyang ( kakak kandung Pong Massangka) pada malam hari tanggal 27 Juli 1917 tersebut. Momen ini dijadikan alasan oleh pasukan kompeni Belanda untuk menyerang basis-basis pertahanan para pejuang.

    Tanggal 29 Juli 1917 serdadu kompeni dengan bala bantuan yang didatangkan khusus dari Palopo menyerbu benteng pertahanan Ne’ Matandung di Balusu kemudian menawan Ne’ Matandung dengan para pengikutnya. Selanjutnya pasukan kompeni bergerak ke Pangala untuk menyerang basis pertahanan Tandibua (keponakan Pong Tiku yang mengambil alih kepemimpinan/Kepala Distrik segera setelah meninggalnya Pong Tiku) kemudian menawan Tandibua bersama para pengikutnya. Pong Massangka dan kawan – kawan yang bergerilya setelah terbunuhnya A.A. van de Loosdrecht dipaksa menyerah setelah serdadu kompeni menawan orang tuanya dan saudara perempuannya. Mereka kemudian ditahan di Tangsi yang kini ditempati sebagai markas Kodim 1414 Tana Toraja.

    Semua pejuang yang berhasil ditawan oleh kompeni dikumpulkan dan melalui pengadilan singkat mereka dijatuhi hukuman yang bervariasi antara 4,5 tahun – 20 tahun, kemudian mereka diasingkan ke berbagai tempat di Indonesia yang diperkirakan sekitar pertengahan bulan Agustus 1917, kecuali Pong Arung (Kepala kampung Bori') tidak sempat diasingkan karena dibunuh oleh serdadu kompeni di tahanan kemudian mayatnya digantung untuk dikesankan seolah-olah bunuh diri.

    Demikianlah riwayat singkat para sahabat Pong Tiku mulai dari perjuangan sampai pengasingan dimana sebagian besar diantara mereka gugur dalam pengasingan dan sampai hari ini tidak diketahui keberadaan kuburannya.

    Adapun nama – nama pejuang yang diasingkan menurut data yang diperoleh sampai sekarang :

    1. Buyang (Ne’ Rego) dari Pangli diasingkan ke Nusakambangan;
    2. Ne’ Matandung dari Balusu diasingkan ke Nusakambangan kemudian dipindah ke Bogor dan meninggal disana;
    3. Tandibua dari Pangala diasingkan ke Sawah Lunto dan meninggal disana;
    4. Pong Massangka dari Pangli diasingkan Boven Digul Tanah Merah kemudian dipindahkan ke Nusakambangan;
    5. Sa’pang (Ne’ Sule Bori) dari Bori’ diasingkan ke Nusakambangan;
    6. Sade (Pong Mangoki’) dari Pangli diasingkan ke Nusakambangan;
    7. Bato’ Limbong (Pong Sirinding) dari Balusu diasingkan ke Tanah Merah;
    8. Karangan dari Pangala diasingkam ke Sawah Lunto;
    9. Pasele’ (Ne’ Manguma) dari Bori’ diasingkan ke Nusakambangan;
    10. Saleppa’ dari Bori’ diasingkan ke Nusakambangan;
    11. To’ Kekka’ dari Akung diasingkan ke Nusakambangan;
    12. To’ Loti (Ne’ Rampa’) dari Bori’ diasingkan ke Nusakambangan;
    13. Sallo’ dari Bori’ diasingkan ke Nusakambangan;
    14. Ne’ Siramma’ dari Bori’ diasingkan ke Nusakambangan;
    15. Arung Padang dari Pangli diasingkan ke Nusakambangan;
    16. Sambira dari Pangli diasingkan ke Nusakambangan;
    17. Kadedeng dari Pangli diasingkan ke Nusakambangan;
    18. Dalame (Ne’ Dawa) dari Pangli diasingkan ke Nusakambangan;
    19. To’ Rinding dari Sangbua diasingkan ke Nusakambangan;
    20. To’ Seleng dari Lempo diasingkan ke Nusakambangan;
    21. Kabai dari Deri diasingkan ke Nusakambangan;
    22. To’ Tinting (Ne’ Sulebontong) dari Akung diasingkan ke Nusakambangan;
    23. To’ Bari dari Lempo diasingkan ke Nusakambangan;
    24. Bontong (Pong Burinda) dari Balusu diasingkan Nusakambangan;
    25. Pong Sitandi dari Balusu diasingkan ke Nusakambangan.
    26. Ne' Sule Tandung dari Tondon diasingkan ke Nusakambangan

    Silsilah Nene' Dari Buntu Kalando

    Ne Datu Rara' x ?
    • ?
    • ?
    • ?
  • Ne' Ta'pian x ?
    • Ne' Alin
    • Ne' Silambi'/Kotte
    • Ne' Medde'
    • Ne' Kona
    Ne' Medde x Ne' Lobo
    • Ne' Lai' Bunga Tangdialla'
    Ne' Bare' x Ne' Lai' Lobo' Ne' Lai' Lobo' x Ne' Sampe Ruru
    • Lai' Lapu'/Indo' Sattu
    • Lai' Tarri'/Indo Linda
    • Lai' Bira'/Indo Hera
    Ne' Lai' Bunga Tangdialla' x Ne' Pasa'
    • Lai' Martha Rura
    Ne' Lai' Bunga Tangdialla' x Ne' Tappi'
    • Ester Indan Silambi'
    Lai' Martha Rura x Antonius Manu'
    • Yulianus (Linus)
    • Melky Rimbo
    • Nikodemus
    • Imanuel Risa
    Ester Indan Silambi x Yohanis Payung
    • Resky Ramba Tangdialla'
    • Rieky Tangdialla'
    • Reni Tangdialla
    Yulianus x Marsia Mangago
    • Paul Mardeliansa
    • Jean Devian Alharon Linus
    • Feivel Mangago Silambi"
    • Seraphina Datu Rara' Mangago
    Melky Rimbo x Erna Renden
    • Livikyen Adelio Aloysius
    • Excelkyen Petra Adelar
    • Rainkyen Matthew Parumpa
    Nikodemus x Merry Rante Layuk
    • Benidictus Layuk Parumpa
    • Bernard Parumpa
    Imanuel Risa x Alberthin Seri Natalia
    • Kresensia Bellvania Risa
    • Fiona
    • Fiola

    Pamulanna Lino Saelako Songka Eran di Langi'

    Pamulanna Lino [klik untuk Terjemahan Bahasa Indonesia]

    Ya ade’ tonna dolonan ma’sa’bumo taunna pura diboko’, malillinpa te lipu daenan, tae’pa temai olo’2, tae’pa temai kakayuanna, tae’pa temai tanan2an, tae’pa temai torro tolino.
    Sikande pa ya langi’ na lino, sangtinti’ to ma’rampanan kapa’ anna tosibali Langi’ na Lino. Lan kasibalianna langi’ na lino dadi mi tu tau da’dua :

    1. Puang Matua
    2. Puang Tulak Padang

    Puang Matua dadi kasibalianna langi’ na lino tang masai allo kaselle dadinna lobo’ garaganna sa kapua-puanna, Na temme’mi Puang Tulak Padang tu diona lino rokko na gundangngi Puang Matua tu langi’ langngan sisarak mi langi’ na lino, dadi kapadanganna, tarru’ Puang Tulak Padang rokko mangapi’na tana, tarru’ tu Puang Matua langngan langi’ umpapa’-paparanni langi’ kalua’. Yatonna domo langi’ tu Puang Matua mentiro tiku mi tae' bangpa ya apa latuo ma’tangnga’mi Puang Matua nakua yake susi to ladi kombong angge maritik ladi tampa sakka saeanna dikombong mi:

    1. Puang Pirik-Pirik nenekna Angin
    2. Datu Laukku’ nene’na Torro Tolino
    3. Kumirrik nene’na Tallang
    4. Banturino nene’na Tedong
    5. Ta'bano Re’bona Lentek nene’na Bai
    6. Pongmaro nene’na Manuk
    7. Mambua Tasak nenena Kalosi
    8. Mengkala’ka’ nene’na Riu sia
    9. mintu nene’na te do kapadanganna

    Nagaraga nasang Pong Matua to, ditampa lammai Sauan Sibarrung dikombong lammai Po’poran Siayoka Tonna sundunmo tu apa nagara pong matua do langi’, dao nasangpa ya langi tu apa mangka na garaga
    Den misa tau do langi’ disanga pong Bura Langi’, bungka ba’bana langi’ dasa’ to paonganan na tiroi te lino, nakua la mellong di petondokki te lino diong apa na tutu’pa wai, tasik pidun-pidunanna pa te lino tonna ditiro domai tae'pa ya kapadangannan ma’tangnga’ mi Puang Matua, unnala mi litak sang lemon tu Puang Matua do tangngana langi’ na sembang biang buntu, na pentossokanni lako na buangmi Puang Matua domai langi te litak sang lemon situru’ biang buntu tualle tanete.
    Tae na masai tuo tu biang lobo’ langngan langi’ ungkallo mi tangngana langi' ussangimi lindona bulan tu diona biang buntu tualle samara, mengkalomi ade’ tu Puang Bura Langi’ nasanga la menteka' dao mai la rampan dilino demme’ kapadanganna apa tae’pa na ma’tangnga lalan tu Pong Bura Langi domai langi’ unnola biang buntu, na iri’mi Datunna Angin, na iri’ rekke ulunna salu, engko bulaanna padang, kalambunan allo kadellekan kulla’.
    Magiang mi sule, mi tu Pong Bura Langi langngan langi’, mekuta pole’omi lako puang matua nakua bo’yo’ mo’ aku tang bo’yo’ku malupu’ mo tang malupu’ku, apa napaluko lu dioya mai nene’na angin tu biang buntu tualle samara.
    Ma’ tangnga’ omi Puang Matua, nakua mi Puang Matua ta garage eran dilangi’, ko digaraga mi tu eran dilangi’ garanto’na eran dilangi’ yamotu buntu la kawan tonna lino dolo, ya tonna mangka motu eran dilangi’ mengkalo nasang mi tu apa apa mangka nagara Puang Matua dao mai langi', apa den tallu olo’2 tae’ na ola eran dilangi’ belanna mataku’/magiang, yamotu

    1. Nene’na tedong manturino, mengkalo daa ulunna tana
    2. Nene’na bai disanga ta’bano re'bona lentek mengkalao dio kalambunanna langi’ jong belau
    3. Nene’na manuk mempa’pak ya domai langi/ mentia’domai langi na ta’pa do raki’na to ma’lembang ba’tu do misa lopi na mane mettia’ tama pangala'

    Yatonna benna mo eran dilangi’ mellong liu kasiumpuranna kasidenderanna tolino na Puang Matua, yanna den sara’ la na posara’ tu torro tolino latuka’na la solo’na kendek mekuta langangan Puang Matua unnola eran dilangi nenne’ duka tu Puang Matua mengkalo domai langi' ungkamaisei/umpakaboro’i tu apa mangka na padadi tu mentama nasang mo lino, lan duka tu yanna to ya duka tu Puang Matua na papa’paparanni mi/naborong-boronganni mi tu dionan katonganan, kuasa.
    Den a’pa te tau na ben kuasa pong matua yamotu:

    1. Puang Tulak Padang la poissanni tu diongna lu to kengkok/diongna lu padang

    2. Puang Banggai Rante la poissanni te daona kapadanganna

    3. Puang Gaun Tikembong poissanni te dona lu langi'

    4. Malaika' Saratu' sumbung pio malaika' na pakaboro' Puang Matua ya mo la ussisolan Puang Matua dao pata’ kandaurena lan masuanggana

    Passabaran songka eran di langi' sola tallanna Padang diRura

    Penggauranna mo Saratu Sumbung Pio na urunganni songka tu eran dilangi’ Saratu Sumbung Pio umpogau 3 dosa/kasalan, yate Saratu Sumbung Pio senga’ bang ya pa’inaanna, senga’ bang ya pa’tangngaranna, na benmo katonganan Puang Matua na lamoraipa ya losong na Pong Matua lamoraipa ya pada Pong Matua, lamoraipaya sau’ Pong Matua

    Tallu kasalan to na pogau Saratu' Sumbung Pio yamotu :

    1. Boko te’tekanna puang matua dao langi’ yamito na diulai’ lammai langi, male daka’ sola kapalana setang kapalana kakadakean

    2. Disio' tu aluk dao langi’ la diben torro tolino kua yamo lana poaluk torro tolino te disanga aluk sanda pitunna: pitung riu, pitung lampa, pitung sa’bu, pitung ratu’, pitung pulo, pitung lise’ pitung piak (7777777), apa yate aluk sanda pitunna disio’ domai langi’ tae'na ranpo nasang tama lino tallu ri angka pitu tu rampo tama lino, 7.777.000 [pitung riu', pitung lampa, pitung sa'bu, pitung ratu ] na kadang sa’pe ya Saratu’ Sumbung Pio sule tama langi’

    3. ma’pentallunan yamo menggaranto’na tongan te sitetena tallan padang dirura den tananan dapo’ lau’ Rura disanga Londong Rirura, bainena disanga Sa’pang Digaleto pena’pa kianak te Sa’pang Digaleto na rindu bang tu anakna simisa’ bang muane na baine, yamo tu anakna Londong di Rura tu disanga to tirindu karua.
      Londong di Rura misa’ to su’gik apa ka'sek, noka ke male lakoi to senga’ tu pa’barangan apanna, yami tona bu’tu lan pa’tangngaranna Londong di Rura kumua mbai ma’din ya di pasibali te to siulu’ (umpa sisusuk bulunna ampa, umpasitengkan randanna dali’), malemi Londong di Rura lako misa’ tominaa lau rura disanga Mangngi’, mekutani Londong di Rura nakua bisa siaraka dipasibali tu tosiulu’,
      nakua mi tu tominaa Mangngi’ ee tae' ku bisa ala kara’tasan, lamalena aku mekutana langngan Puang Matua.
      Male tu tominaa Mangngi' langngan langi la mekutana langngan puang matua unnola eran dilangi’ mane sisaman tomonaa mangngi tu eran dilangi’, na tammui omi saratu’ sumbung pio, nakua umbalamu ola mangngi’, nakua mi tominaa Mangngi’ lamalena’ mekutana langngan Puang Matua ba’tula bisai tu tusiulu’ dipasibali, nakua mi Saratu Sumbung Pio da’omo mutarru sitiro Puang Matua, bisa bangsia tu to siulu di pasibali na denpa buanna rampanan kapa’ na denpa anakna na dila’lang kalua’i/na di paden aluk pengkaorongan ba’tu ma’rambu langi’


    Sule mi tu tominaa Mangngi’, boko kada napakena mo iya Saratu’ Sumbung Pio, saemi lako Londong di Rura nakua ma’din sia ade’ apa yanna kianak mo dako ladi pademmo tu aluk pengkaorongan.

    Kona garaga motu lantang, ya tonna lambi’mi allona dipogau’ diona rampanan kapa’ mintu’ kamaruasan napopake nasang, mintu’ oni na po oni, mintu’ gamara na po gamara. Narangi mi Puang Matua langngan langi’, mekutania Puang Matua domai, nakua ee Pong Bonggai Rante na’pai raka tu tau iti’ lino?. Londong di Rura umpogau rampanan kapa' anakna na pasibali. Sengke mi tu Puang Matua, ma’kada mi tu Puang Matua “tampak ropu sapuan pala’, tang ma’din iya tu tosiulu’ dipasibali, na sayu ba’tang iya ada’ sola pemali tu pasibali to massiulu’, tae’mo na ma’ tangnga’ kalando Puang Matua natumpumi tu eran dilangi anna songka, songka rekke ulunna salu, buttinna buntu lakawan, sarira tarru’ rekke sesean, yanasang mo bekasna eran dilangi tu songka.
    Situang duka to allo yato tonna songka motu eran dilangi’, ma’kadami tu Puang Matua daomai langi’ rokko siulu’na Puang Tulak Padang : lendokan pi tu patongkonna tu lino iti’ tu sipatunna nani pa’maruasan/toma’rampanan kapa’. Nalendokan mi diong anna tallan tu padang dirura rokko posi’ tana lambe, mintu to mendioren to attu mangsan nasang/sabu’ nasang.

    Ya tonna mangka to ma’kada mi tutorro tolino nakua umbamo latakua te?, la mekutana ki’ langan Puang Matua na songka motu eran dilangi’, nakuami Pong Matua domai langi', lando lalanniko pare-pare nangka passasaran tuyu/tominaa rekke ulunna salu, dilando lalanni mi Pong Sulo Ara’ rekke Sesean, Pong Bua Uran damai Tikala, Mandai Kema, Lo’ko’ Isi damai Sa’dan. Disanga male patutungan bia’, umpakalolo aluk tu pura na lutu tombang Londong di Rura.
    Yatonna rampomo te a’pa tominaa damai ulunna salu dipogau’mi tu aluk pengkaorongan/mengkasala langngan Puang Matua, marassan dipogau, ma’kada mi Puang Matua daomai langi’ lako Tominaa Sulo Ara’sola Pong Bua Uran, yato kalosi lan sepu’mu buda rupanna
    Yato kalosi kalebu tinti’na/susinna to masiulu bangpa, kalosi dipa’dua to sampu pissan, kalosi di tepo to sisampu penduan, ditepo karua tosisampu pena’pa, sia sitarru’na, tananni kade’, natananni tominaa tu kalosi, yatu kalebunna sola ditepona bangri taena tua/bosi, kalosi ditepo a’pa tuo apa kada tuona, kalosi dileso karua melu tuona, sia sitarru’na.

    Rampo inde mo to tu kada disedan sarong di toke' tambane baka puama silambi' diomai nene' todolo
    Ada' rampanan kapa' aluk 7777, kumua yanna den rampanan kapa' tae'na ma'din tu tosiulu dipasibali, tae'na melo tu tosampu pissan sibali, bisa sibali tu to sisampu penduan ke kapussakan mi, la melo tuo na ke sampu pentallun sia sitarru'na

    Coffee Price

    Harga
    Jenis Kemasan
    Kemasan
    Rp. 11.000,-
    Kopi Toraja Vania 125 gram
    Rp. 22.000,-
    Kopi Toraja Vania 250 gram
    Rp. 44.000,-
    Kopi Toraja Vania 500 gram
    Rp. 20.000,-
    Kopi Toraja Vania Kemasan aluminum foil 150 gram

    Kami menjual kopi Robusta asli Tana Toraja tanpa campuran kopi jenis lainnya

    Harga yang terterah belum termasuk ongkos kirim

    Info Pemesanan dan informasi lainnya, silakan hubungi +62 82396763367

    Terima kasih atas kepercayaan Anda !


    You may put your comments below

    Paul's Video

    Jean's Videos

    Keturunan Ne Sulle / Pong Lamba' / Ne' Roy

    Petrus Sulle Tangdialla' x Maria Bira'
    • Agustina Lamba
    • Marthen Tangke
    • Rura
    • Petrus Sakke Tangdialla'
    • Yohanis Silambi / Sampa'
    • Markus Nanna'
    • Nober Daud Tangdialla' / Bose
    • Daud Tandi
    • Bu'tu / Yuliana Tangdialla'
    Agustina Lamba x Pare Tolla'
    • Roy Marthen
    • Agustinus
    • Elisabeth
    • Antonius
    • Grachia Nava
    Marthen Tangke x Maria Siappa'
    • Herianto Mendaun
    • Edi Mendaun
    • Melsia Mendaun
    Rura x ?
    • Riswan
    Petrus Sakke Tangdialla' x Salma Tikuliling
    • Medi Tangdialla'
    • Greysela Tangdialla'
    • Serni Tangdialla'
    Yohanis Silambi [Sampa'] x ?
    • Maya
    • Melco
    • Melky
    Markus Nanna' x Engchan
    • Weldi
    • Welda
    Nober Daud Tangdialla' x Dina Kondolele
    • Harsandi Tangdialla'
    • Aldy Tangdialla'
    • Nadia Tangke Datu
    Daud Tandi x Kristina
    • Rein
    Yuliana tangdialla' x Simon Sesa
    • Yulsiana Tangke Datu
    • Claudya Tangke Datu
    • Wita Tangke datu
    • Destan Putra Sesa